Visualizzazione post con etichetta Novela. Mostra tutti i post
Visualizzazione post con etichetta Novela. Mostra tutti i post

venerdì 5 novembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan chapter V)
--------------------------
Aku baru saja menyadari nenek tua yang terlihat teduh itu sedikit menitikkan air mata. Tapi hanya satu titik, tidak lebih, karena akhirnya dia kembali tersenyum menatap cucunya.

"Maafkan ibumu," ujar nenek.

"..."

"Nenek tahu ibumu yang salah. Maka maafkan dia."

"Ibu selingkuh dari ayah, memisahkanku dari dirinya, melarang Kimi dekat dengan kami, dan sama sekali tidak ingin menganggapku anaknya lagi, dan haruskah ku maafkan?"

Nenek terdiam.

"Aku memaafkannya, nek," dengus Kara. "Selalu memaafkannya. Aku hanya tidak habis pikir apa salahku dan salah ayahku?"

"Ini mungkin percakapan yang sedikit emosional. Aku kira aku harus turun tangan ketika ibumu menghubungi beberapa bulan yang lalu."

Kening Kara berkerut dan hal itu terjadi padaku juga. Kara melepaskan tangannya dari genggaman neneknya. Dia bersandar pada kursi dan menghela nafas menatap keluar jendela. Sementara kemacetan dan lampu-lampu mobil mengisi pandangan pada matanya.

Secangkir teh di meja mengepul walaupun aku tahu kini isinya sudah mendingin. Nenek menyeruput teh dalam cangkirnya. Sementara suara bising dan tawa dari para pengunjung kafe lainnya mengisi keheningan di antara nenek dan cucu itu. Aku masih menunggu percakapan selanjutnya.

"Ibumu menghubungi nenek," mulai nenek lagi. "Kamu mungkin tidak percaya. Tapi nenek mengenal ibumu sedari dia masih kecil. Dia memang keras dan berbeda dari anak-anak perempuan nenek lainnya. Dan mungkin paling labil.

"Cinta pertama ibumu mungkin ayahmu. Mereka dekat sejak SMP karena rumah yang berdekatan. Walaupun ibumu sempat berpacaran dengan laki-laki lain, tapi tetap orang yang menghantui hidupnya tetap ayahmu."

"Aku tidak butuh dengar cerita seperti itu, nek. Aku benci romance," tukas Kara.

"Pernahkah kamu berpikir bahwa ibumu masih mencintaimu dan ayahmu?"

Kara menunduk lama sampai akhirnya dia menggeleng. "Jika hal itu benar ada, seharusnya aku tidak seperti ini sekarang."

"Dan pernahkah kamu berpikir bahwa semua kejadian yang terjadi sekarang bukanlah kemauan ibumu?"

Kara kembali menggeleng.

"Ini bukan kemauan ibumu. Jika ini kemauan ibumu, maka aku tidak akan memberikan liontin ini padamu."

Kara mendongak, keningnya kembali berkerut. Dan aku mulai berpikir, ada banyak hal yang tidak terduga terjadi belakangan ini. Dan pernahkah kita melihat bahwa kita berada di dalam sebuah drama hebat.

Karena sesungguhnya cerita ini masih berlanjut dan aku semakin penasaran.
--------------------------
bersambung...

sabato 9 ottobre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter V)
----------------------------
Sore berlanjut di tengah keramaian. Asap hangat yang mengepul lewat secangkir teh di antara dua pembicara perlahan menghilang. Teh itu perlahan mendingin seiring berkurang kadarnya pada cangkir. Dan dialog yang kusaksikan berlanjut ketika lampu-lampu jalan bersinar memendar perlahan dan irama musik ballad yang diputar di kafe mengalun.

"Papa sedang tidak ada di Jakarta hari ini. Dia baru kembali minggu depan. Ada tugas di Medan, nek," beritahu Kara.

"Kalau begitu nenek bicara denganmu saja, Kara."

"Baiklah. Aku akan mendengarkan."

"Nenek memang ingin bicara. Tapi ini bukan sesuatu yang harus didengarkan. Ini sesuatu yang harus diterima."

Kara mengerutkan dahi. Sedangkan aku mulai merasa si nenek ini terlalu banyak berteka-teki. Tapi ucapannya barusan bukan lagi sebuah teka-teki ketika dia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya. Sebuah kotak kayu berukuran 10x15 cm dan menyerahkannya pada cucunya.

"Apa ini?" tanya Kara tidak berani menyentuh kotak tersebut.

"Sesuatu yang harus kamu terima." Dengan tangan keriputnya ia membuka kotak tersebut. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas yang pasti itu adalah barang berharga. Karena Kara terlihat sangat terkejut melihatnya.

"Liontin ini milik almarhum Tante Tiara kan, nek?" tanya Kara sedikit takjub.

"Ini milik nenek sebelumnya. Oma tua menurunkan pada nenek. Ini liontin yang turun temurun dimiliki keluarga kita, Kara sayang...," cerita nenek, "sejak Tiara meninggal dua tahun lalu aku mencari-cari siapa yang berhak memiliki liontin ini. Dan seharusnya ibumu yang memilikinya. Tapi..."

"Tapi itu berarti nenek tidak seharusnya memberikan ini padaku. Mama yang harusnya memakainya. Atau mungkin Kimi."

"Benarkan kamu cucu nenek?"

"I-iya."

"Maka kamu masih bagian dari keluarga ini. Meskipun orang tuamu telah bercerai. Nenek ingin memberikan ini padamu."

"Mengapa? Aku merasa tidak pantas dan tidak berhak."

"Sudah cukup melankolismu, Kara," sanggah nenek, "kamu mungkin sudah didepak di hati ibumu. Tapi tidak pernah ada mantan anak. Nenek menyayangimu seperti layaknya seorang ibu menyayangi anaknya." Wanita itu membelai pipi cucunya yang sedikit pucat sambil tersenyum. "Kamu tidak pernah terdepak dari hati nenek. Kamu tetap keluarga. Dan liontin ini pertanda bahwa kamu masih bagian dari keluarga ini."

Mereka saling menatap. Cukup lama. Dan Kara menunduk dia menggenggam tangan neneknya dan menciumnya lama.

"Tentang ibumu..."

"Ya?"

"Ada yang tidak kamu tahu."

---------------------------
bersambung

venerdì 17 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter V)
-----------------------------
Mereka duduk di meja dengan tulisan RECEIVED tersebut. Kara tersenyum pada ibu yang dipanggilnya nenek tersebut. "Nenek mau minum apa? Aku mau pesan teh."

"Samakan saja. Tidak pakai gula ya ingat!" jawab neneknya.

Kara datang ke arahku. "Kali ini dua. Satu tidak pakai gula!" pesannya padaku dengan suara yang luar biasa riang. Sangat langka menemuinya dengan wajah dan suara seriang itu.

Aku menyiapkan pesanannya sementara Kara membayar di kasir. Aku memperhatikan ibu-ibu tua itu. Matanya teduh menatap keluar jendela kafe. Di luar sana jalanan kembali lumpuh, kendaraan berjejer menikmati kemacetan Jakarta di petang hari. Klakson bersahut-sahutan tidak keruan. Tapi ibu-ibu tua itu tetap menatapnya dengan ketenangan tersendiri.

Aku mengantarkan dua teh tersebut. Ibu itu mengucapkan terimakasih padaku yang kubalas dengan senyum tulus. Matanya biru itu yang aku baru sadar. Pasti pesona masa mudanya terletak dari mata biru tersebut.

"Sejak kapan nenek tiba di Jakarta?" tanya Kara begitu dia duduk di tempatnya.

"Tadi siang. Nenek menginap di hotel bukan di rumah ibumu," jawab ibu tersebut.

"Tapi mama tahu nenek di Jakarta? Nenek sama siapa ke Jakarta? Jogja-Jakarta itu jauh lho, nek."

"Nenek ke sini sendiri naik kereta. Ibumu tidak tahu, nenek ke sini ingin bertemu denganmu dan ayahmu."

"Aku? Sama papa? Tapi kan anak nenek mama."

"Dan kamu cucuku bukan?"

Kara tersenyum tersipu. "Diminum nek tehnya," tawar Kara.

-------------------------------
bersambung...

martedì 14 settembre 2010

#Secangkir Teh

CHAPTER V

Hari-hariku cukup fluktuatif belakangan ini. Aku mulai lebih sering pulang cepat ke rumah. Dan kakakku mulai sering marah-marah padaku sambil berteriak, "Konsisten kerja nggak sih??" Ya dan aku hanya bisa menggeleng dan berlalu ke kamar. Kakak bisa saja memecatku. Tapi toh akhirnya memasuki bulan kelima aku bilang padanya aku hanya akan duduk di balik meja bar minuman bersama Lila sembari membantunya dan bersedia tidak diupahi yang penting aku bisa mendengar pembicaraan dari meja yang bertuliskan RECEIVED tersebut.

Aku mengamati frekuensi pertemuan Kara. Sepertinya dia telah menciptakan padaku sebuah bentuk analisa baru. Analisa psikologi. Membaca bagaimana sifat dan pola pikir seseorang itu sangat menarik. Terutama jika sasarannya adalah seseorang seperti Kara. Emosinya naik turun. Dan serangan yang dilakukannya tidak mudah tertebak. Aku mulai berpikir bahwa dia memiliki kepribadian ganda. Tidak hanya dua. Tapi berganda-ganda.

Tapi aku melihat Kara seperti sebuah pensil. Dia diraut dan perlahan dia pun menjadi runcing. Seperti gadis yang selalu kuat dan selalu teguh pendiriannya. Dan sekali pensil itu dipatahkan dia akan memilih untuk tumpul selamanya. Dan anehnya, tak ada satupun yang berusaha merautnya.

Aku menyadari hal tersebut belakangan ini. Beberapa orang silih berganti duduk di hadapannya. Wajahnya lesu dengan bibir pucat pasi. Menatap ke arah manusia yang asik berbicara. Menceritakan pengalaman mereka. Membahas apa yang dosen mereka katakan. Menawarkan produk. Dan terkadang berusaha membuat Kara tersenyum dan tertawa. Tapi gadis itu pasti akan selalu membalas dengan wajah muram dan anggukan atau gelengan, dan jika benar-benar dia ingin menghargai usaha seseorang dia hanya akan tersenyum simpul.

Entah hari ini akan kembali dengan rupa seperti apa. Aku melihat gulungan asap di luar sana. Sebuah taksi berhenti tepat di depan kafe. Dan Kara keluar dari dalamnya. Lebih lesu dari biasanya. Dia akan masuk seorang diri dari pintu itu tadinya, sampai tiba-tiba seorang ibu-ibu tua membantunya masuk. Ibu-ibu itu tersenyum dan aku melihat sepertinya ada sesuatu yang terjadi dari ajang tatap menatap antara Kara dengan ibu tersebut. Karena akhirnya dia memeluk ibu tersebut ketika pintu tertutup di belakangnya.

Mereka berjalan berangkul-angkulan. Dan untuk pertama kalinya aku melihat Kara menangis sambil tersenyum dengan air mata yang melembab pada pipinya yang perlahan menirus.

"Apakabar cantikku?" tanya ibu tersebut. Ya aku memperkirakan wanita itu berusia sekitar enam puluhan. Seharusnya aku menyebutnya nenek bukan ibu.

"Aku baik-baik saja. Nenek apakabar? Sejak kapan tiba di Jakarta?" tanya Kara dengan wajah sumringah.

Nenek? Dari pihak siapa?

--------------------------------
bersambung...

martedì 7 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter IV)
-------------------------------
Kara menangis dan Galih membiarkannya. Mereka lama terdiam dalam bisu seperti itu. Lila berdiri di sisiku. Menyenggol tubuhku yang terdiam terpaku. "Sssst...," desisku pada Lila.

"Sekarang apa lagi yang tidak kau mengerti?" tanya Galih dengan suaranya yang dalam. Dia seperti kehilangan pesonanya.

"Aku tidak mengerti mengapa harus kau sembunyikan semua itu? Jika kamu tidak menyembunyikan, mungkin saja wanita yang ada di Auckland sana itu aku. Mungkin saja hidupku jauh lebih bahagia dari saat ini. Mungkin saja saat ini aku lebih leluasa menceritakan segala hal. Aku kesepian... Aku butuh seseorang yang mencintaiku," tuntut Kara.

"Aku harus menyembunyikannya, Kara. Di saat ketidakyakinanku datang aku harus menyembunyikannya. Aku harus berpikir dua kali."

"Dan kamu meragu di saat pernikahanmu dengan Alin. Dan mengapa tidak kau sembunyikan?"

Galih menggeleng. "Pernah kita bicara mengenai pilihan? Tidak baiklah. Tapi kita tahu mengenai pilihan. Kita tahu mengenai alasan sebuah pilihan. Dan kita tahu akan sebuah keputusan. Dan aku telah memilih untuk hidup bersama Alin dengan alasan aku mencintainya, aku ingin menjadi suaminya, menjadi ayah dari anak-anaknya, menjadi sumber kebahagiaannya, menjadi inspirasi hidupnya, menjadi jodohnya di dunia yang Tuhan berikan."

"Klise," umpat Kara.

"Ini waktunya kamu mengerti, Kara... Aku kembali demi kamu!"

"Demi memohon maaf ya... Aku memaafkan."

Galih menarik kedua tangan Kara. Menahannya untuk menutup wajahnya sekali lagi. "Oke ini tidak klise. Aku memintamu membuka hatimu. Aku memintamu mengerti. Aku memintamu untuk berhenti mencintaiku. Jahatkah aku? Iya aku jahat. Tapi ada satu sisi yang harus kamu mengerti dari semua ini... Kamu punya pilihan untuk keluar dari keterpurukanmu. Tidak hanya kamu satu-satunya manusia yang paling menderita di muka bumi ini. Ada banyak. Termasuk Alin. Kamu tidak tahu apa-apa soal Alin. Dan kamu tidak berhak meminta aku menceraikannya meskipun kamu sahabatku, adikku, meskipun kamu orang yang pernah aku cintai."

Kara menahan tangisnya. Dia menggeleng.

Galih mendengus. "Kamu kuat Kara. Aku tahu. Mudah bagi lelaki manapun jatuh cinta padamu, dik. Kamu hanya perlu membuka diri. Aku tahu kamu bisa memilih. Tidak ada yang pernah bermaksud menghancurkan hatimu. Karena Tuhan tidak menciptakan satu manusia pun untuk merasa sedih di jalan yang diberikan-Nya. Itu namanya tidak bersyukur."

Kara menarik kedua tangannya dan Galih membiarkannya. Gadis itu bersandar pada kursinya. Menatap Galih entah dengan tatapan apa. Dia kehilangan cahayanya. Cahaya yang pertama kali aku lihat dari dirinya pada kunjungan pertamanya kemari. Kemampuannya mematahkan hati. Dan kini hatinya dipatahkan seseorang.

Mereka terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Galih berkata, "Kamu bohong mengatakan tidak ingin hidup tanpa cinta dan tidak ingin menjadi milik siapapun. Yang perlu kamu lakukan hanya tidak mengulang kesalahan orang tuamu. Kamu bukan siapapun. Kamu ya kamu."

"Siapa yang membayarmu untuk mengatakan semua omong kosong itu padaku?"

"Tidak ada."

"Jadi apa tujuanmu?"

"Sudah kukatakan sejak awal aku ingin minta maaf padamu, Kara..."

Kara menarik nafas panjang menggigit bibirnya. Dia terdiam dan memejamkan matanya lalu perlahan mengangguk perlahan. "Kau pulang besok, Galih?" Galih mengangguk. "Aku... titip salam untuk Alin."

"Akan aku sampaikan."

"Dan aku... aku titip salam pada Galih yang kukenal bertahun-tahun yang lalu. Katakan padanya bahwa aku masih mencintainya teramat sangat."

Galih menyeruput espressonya dalam keheningan. Dia menatap Kara sekali lagi. Dia tersenyum meraih kedua tangan Kara dan mengecup keduanya pelan. "Akan aku sampaikan..."

Dia berdiri sementara Kara masih tersandar tak berdaya. "Maafkan aku sekali lagi... Tapi aku harus kembali."

Galih berbalik ketika Kara tidak menanggapinya sama sekali.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Kara. "Jika di dunia jodohmu adalah Alin. Apa di akhirat nanti aku yang menjadi jodohmu? Bisakah kamu tidak menyembunyikannya? Bisakah kamu jujur dan memilih aku?"

Galih terdiam. Dia tidak menoleh, dia hanya bergeming di tempatnya berdiri beberapa saat. Dia hanya menoleh sedikit tanpa isyarat dan berjalan terus tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan kata perpisahan. Dan Kara tidak menangis di tempatnya lagi. Dia hanya terdiam dan menghabiskan tehnya yang sudah mendingin.

Kali ini aku melihatnya kehilangan cinta sejatinya. Yang mungkin tidak akan pernah didapatkannya. Tapi seharusnya dia sadar Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya sesendiri kemurungan senja. Mungkin saja lain waktu dia kembali bersama semangat baru. Karena waktu terus berputar. Setiap orang punya pilihan. Dan manusia mana pun berhak memilih untuk keluar dari keterpurukannya.

Pasti akan kembali satu hari nanti, di mana jodohmu adalah dia.

-------------------------------
bersambung...

lunedì 6 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan chapter IV)
--------------------------------
Aku berpura-pura menyibukkan diriku dengan mengelap meja bar, ketika kakakku memperhatikanku sembari geleng-geleng kepala. Dia sudah mulai tahu kebiasaanku datang untuk menguping pembicaraan dari meja salah satu pelanggannya. Ya tapi tetap telingaku terpasang untuk mendengarkan.

"Apa?" ulang Kara sekali lagi. Dia mulai terlihat putus asa memandang Galih.

Galih menarik nafas panjang. Membuangnya perlahan dan mencari posisi ternyaman di kursinya. "Aku bersikeras untuk mengatakan ini padamu sejak dahulu, Kara."

"Apa? Kenapa tidak langsung saja pada intinya?"

"Maaf," sambar Galih singkat. Mereka terdiam saling menatap. "Aku ingin mengucapkan maaf."

"..."

"A-aku ingin minta maaf padamu sejak dahulu," mulai Galih kali ini aku melihatnya sedikit malu. Dia menundukkan kepala dan tidak berani memandang Kara. "Sejak aku menemukan Alin aku ingin minta maaf padamu atas kebodohanku dan atas kesalahanku padamu."

"Aku tidak mengerti."

"Boleh aku bercerita sedikit? Entah mungkin ini akan membuat kamu muak, tetapi ini akan membuat kamu mengerti." Dia berhenti sejenak memandang Kara, mencoba menebak apa yang dipikirkan gadis itu lewat matanya. Kemudian dia menunduk lagi dan mulai bercerita.

"Aku membohongi diriku sendiri, Kara. Aku menyembunyikan ini bertahun-tahun. Aku mempunyai seorang teman kecil yang usia lebih muda dariku. Dia tetanggaku, teman bermainku. Seorang gadis kecil yang suka naik sepeda merah setiap sore. Yang ketika ulang tahunku ke-13 menghadiahiku sepatu. Yang pernah jatuh dari pohon jambu saat bersikeras menunjukkan bahwa dia bisa mengambil sebuah layang-layang. Dan seseorang yang pernah nyaris membatalkan pernikahanku dengan Alin dengan masuk rumah sakit gara-gara pingsan sesaat sebelum ijab kabul."

Kara mematung di tempatnya. Garis-garis wajahnya mengeras.

"Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu, Kara. Aku mencintaimu sejak aku berusia tiga belas tahun dan kau sepuluh tahun. Sejak kamu menghadiahkanku sepatu, sejak kau jatuh dari pohon jambu hingga saat aku mengira bahwa aku salah mencintai Alin. Ya mungkin saja aku salah aku membodohi diriku sendiri. Bertahun-tahun aku menikah dengan Alin. Aku merasa... sangat-sangat tidak tenang dan berdosa."

Aku menangkap gerak-gerik dari tubuh Kara. Tangannya bergerak menggapai jemari Galih yang mengepal. Dia mengelusnya perlahan.

"Aku berpikir untuk menyembunyikan semuanya. Semuanya dalam-dalam, rapat-rapat karena aku tidak berani. Dan aku bertemu Alin. Seseorang yang menaruh lebih banyak perhatian untukku di saat-saat aku memberi banyak perhatian padamu. Seseorang yang dengan lapang dada mendukungku untuk menyemangatimu saat orang tuamu bercerai. Ya dan perlahan aku mencintainya. Tapi seakan-akan nama Kara tidak pernah hilang. Ya dan singkat... aku tetap mencintaimu di sini. Dan aku masih saja terus berkilah.

"Aku kembali kali ini, Kara. Aku ingin minta maaf. Aku harap setelah hari ini semua selesai. Aku menjadi lebih tenang dan kau pun menjadi tenang. Aku minta maaf telah membohongimu... dan..."

"Berikan aku ruang aku mohon, Galih. Berikan aku satu kesempatan. Berikan aku..."

"Aku pria beristri dan memiliki seorang anak."

"Aku tidak peduli!!!" isak Kara, kini tangannya menggenggam Galih erat.

"Tapi aku peduli! Aku peduli pada Alin! Aku peduli pada anakku. Aku peduli pada bayi yang dikandung Alin. Dan aku mencintai mereka semua."

"Dan apa kau mencintaiku?"

Mereka terdiam. Terengah-engah oleh nafas mereka sendiri yang sesak bercampur perasaan.

"Jangan membuat semua ini terasa seperti sinetron, Kara," ujar Galih. "Aku mengajarkanmu untuk realistiskan? Dan aku mengajarimu untuk dapat memilih. Maka aku telah memilih. Aku telah menikah dengan Alin. Dan atas dasar apapun, aku adalah miliknya. Aku tidak berhak mencintai wanita lain. Selain ibuku dan dia." Galih berhenti sejenak. "Tidak terkecuali seseorang yang pernah aku cintai juga."

Kara terguncang. Tapi seperti ingin tabah dan menyembunyikan perasaan sedihnya, dia tertawa. Dia memaksa dirinya tertawa. Melepas genggamannya dan menutupi wajahnya. Masih dengan suara tawanya yang terdengar dipaksakan dan perlahan berubah menjadi tangisan.

"Ini intinya... aku meminta maaf," ulang Galih pasrah.
--------------------------
bersambung...




giovedì 2 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter IV)
--------------------------
Kara terguncang di tempatnya sendiri. Dia memilih menunduk dengan bahu yang gemetar menahan tangisnya yang akan meledak. Sedangkan Galih duduk lebih tegak, sedikit terkejut. Matanya menatap dengan gelisah pada gadis yang terguncang di depannya tersebut.

"Aku tidak bisa makan ketika kamu mengabari sudah ada di Jakarta. Sudah lebih dari lima tahun kita tidak bertemu. Sejak kamu menikah dan memutuskan untuk pindah ke Auckland bersamanya. Dipikiranku terlalu banyak kenangan. Kenangan yang selama ini membuat aku ingin jauh," jelas Kara. "Kamu mungkin menganggapku adik. Tapi hingga saat ini aku masih menganggapmu lebih."

Galih masih terdiam di tempatnya. Aku melihat ponselnya bergetar di meja, tetapi dia tetap fokus menatap Kara. Mungkinkah ini alter ego dari gadis ini? Sudah terlalu banyak alter ego yang aku lihat darinya.

"Aku memilih untuk tidak makan. Benar. Aku memilih untuk jatuh saja pingsan di hadapanmu. Atau saat aku sedang berjalan jauh ke sini. Mungkin saat itu orang-orang rumah sakit akan menghubungi ayahku, dan aku sudah berpesan pada ayahku agar menghubungimu. Semua sudah dirancang. Yaaaaahhh dan ternyata ketika kamu ada di sini aku tidak pingsan sama sekali. Aku hanya berusaha untuk terlihat sakit, seperti dulu. Ketika pernikahan kalian nyaris batal karena aku," lanjut Kara.

Aku nyaris tidak bisa berpikir. Aku pernah mendengar bahwa Kara memilih untuk tidak mencintai. Menjauhi cinta. Bahkan seperti tidak ingin menjadi milik lelaki manapun. Namun hari ini aku melihat dia seperti memohon belas kasihan dan cinta dari seorang laki-laki yang telah beristri.

"Aku tahu meminta seseorang yang telah beristri untuk mencintai diriku itu salah. Aku tahu menjadi penghancur rumah tangga orang itu juga salah. Aku tahu aku tahu bahkan aku tahu rasa sakitnya sebuah keluarga yang bercerai. Tapi aku bahkan tidak dapat menyangkal perasaanku sendiri. Di sini rasanya sakit, Galih." Kali ini air matanya benar-benar jatuh, tapi dia belum berani menengadah.

"Ka... Kara..."

"Saat kau bertemu Alin semua waktumu habis buat dia. Aku cemburu hingga ingin membunuhnya. Dia menganggapku seperti seorang anak perempuan manis yang tinggal di rumah sebelah. Ya, aku memang hanya tetanggamu. Tapi lebih dari itu aku mencintaimu. Dan tahukah ketika aku memilih untuk hidup tanpa cinta karena sakit hati ini? Aku nyaris mati rasa dan rasanya menyiksa."

"Realistis, Kara..."

"Apa?!!!" potong Kara. "Aku terlalu realistis, Galih. Aku seperti gadis yang diberi harapan dan diberi sesuatu yang berharga, lalu diinjak, dan dibuang, dihempaskan lalu dilupakan. Dan pikirku semua lelaki sama, kecuali ayahku. Tapi aku tetap menunggumu, Galih. Menunggumu seakan kau akan menceraikan Alin, seakan suatu hari kamu akan kembali menjemputku, atau sekedar menjadikanku selir hatimu. Dan ketika kamu pulang ke Jakarta aku seperti ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu."

"Tapi aku sadar itu semua tidak akan pernah terjadi...," dengus Kara. "Aku tidak ingin ada satupun rumah tangga yang kukenal lebur seperti rumah tangga ayah dan ibuku."

Galih mendekatkan tubuhnya ke arah Kara yang kini menangis dengan tangan menutupi wajahnya yang menunduk. Perlahan tangannya mengapai helaian rambut panjang Kara. Mengelusnya pelan di bagian atas kepalanya.

"Setiap orang berkata untuk maju, mengapa tidak maju?" tanya Galih.

Kara hanya menangis.

"Aku tahu itu pilihanmu. Tapi menunggu aku bukanlah pilihan yang tepat. Meninggalkan cinta juga bukan pilihan yang tepat. Satu-satunya yang membuat dirimu terpuruk sampai saat ini adalah karena kamu memilih untuk membiarkan cahayamu redup. Digerogoti rasa sakitmu sendiri dan alasanmu untuk tetap berada di garis yang sama bertahun-tahun.

"Mungkin setelah pertemuan kita hari ini kamu pun akan tetap seperti itu. Setiap orang ditakdirkan memiliki pasangannya masing-masing. Alin seperti permata bagiku, dia segalanya bagiku, dia ibu dari anak-anakku, dia pilihan Tuhan bagiku...aku tahu itu. Aku mencintainya dari dulu aku tahu itu. Dan aku tahu setiap hal kecil juga yang kau lakukan untukku Kara. Kamu seperti bintang kecil yang menghiburku di setiap malam aku mengalami kesedihan, sumber semangatku ketika aku merasa redup, dan temanku adik kecilku."

Tahu apa? Aku merasa itu puisi yang memang sudah dibuatnya sejak dulu. Namun ketika mendengarnya, rasanya dia memang menggambarkan perasaan yang sebenarnya dengan perumpamaan yang tepat.

"Kau tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu, Kara? Aku ingin bicara... Dan sedari tadi kita belum memulai pembicaraan inti kita. Bisakah aku mulai sekarang?"

Kara membuka wajahnya. Dia mengangguk. "Jadi apa?"

---------------------------------
bersambung...

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter IV)

------------------------------
Pria itu melempar senyumnya yang ternyata memiliki sihir. Wajahnya jauh lebih tampan dengan senyum tersebut. Dan entah mengapa di saat aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pria itu, Kara memilih untuk diam saja dan tetap memandang cangkirnya.

"Baik," jawab Kara. "Bang Galih mau pesan minum apa? Nanti saya pesankan..."

"Biar saya sendiri saja yang pesan. Kamu di sini saja."

Dan pria itu datang ke meja barku. Dia mengeluarkan suaranya yang jauh lebih merdu dari yang kudengar dari kejauhan. Matanya coklat pekat. Ini pertama kalinya aku merasa deg-degan berdiri di balik meja bar. Dia memesan segelas espresso. Aku menyajikan espresso dengan kikuk. Sesekali aku mencuri pandang ke arah meja Kara. Dia masih duduk sendiri. Sementara lawan bicaranya menunggu di kasir untuk membayar.

Wajah gadis itu sendu. Dia lebih pucat dari saat dia masuk ke kafe ini. Dia sempat terpaku sesaat memandang tubuh pria yang dipanggilnya Bang Galih. Dan kembali terpaku menatap cangkirnya ketika aku tiba menaruh espresso di mejanya. Aku berbalik dan kembali ke balik meja bar. Pria itu kembali duduk di kursinya menyeruput espresso.

"Bagaimana kabar Mbak Alin?" tanya Kara sembari dia memainkan jemarinya pada tubir cangkir.

"Kondisinya sangat baik. Alin sedang mengandung anak kedua kami. Sudah enam bulan. Itu mengapa aku tidak membawanya ke Jakarta kali ini lagipula aku hanya pulang selama tiga hari. Besok aku pulang," papar Galih.

"Oh... Sudah sebesar apa Gamal sekarang?"

"Dia sudah tiga tahun. Kamu harus lihat betapa lincahnya dia sekarang, Kara. Anak laki-laki selalu jadi jagoan bukan."

"Ya seperti ayahnya...," dukung Kara. Akhirnya dia menengadah menatap Galih dan tertawa hambar.

Galih sedikit tersentak dia menyentuh pipi Kara dan mengelusnya pelan. Membuat Kara tersentak seperti mendapat setruman listrik. "Kamu pasti tidak makan lagi. Pucat sekali, dek. Pokoknya sekarang harus makan!"

Kara menarik kepalanya menjauh dari tangan Galih. "Ga aahhh bang. Kita ketemuan di sini bukan untuk makan-makan kan. Untuk bicara, seperti kata abang."

"Tapi aku tidak pernah bisa memaafkan diriku jika kejadian yang dulu terulang lagi," ujar Galih dia nyaris seperti membentak.

Kara mendengus di tempatnya. Menunduk dan berkata, "Aku masih mencintaimu...," ujarnya pelan.
------------------------------------
bersambung...

venerdì 27 agosto 2010

#Secangkir Teh

CHAPTER IV

Hari terus berjalan, dan aku seperti kerasukan setan setiap pulang sekolah. Motivasiku untuk bekerja di kafe berubah dari mengisi waktu luang dan menambah uang jajan menjadi menemukan cerita baru. Selama empat bulan ini aku sudah duduk di balik meja bar bersama teman kerjaku, Lila menyaksikan bebagai hal yang terjadi di kafe ini.

Urutan rutinitas yang aku lalui setiap hari adalah seperti ini; bangun, pergi ke sekolah, bel pulang masuk ke angkutan umum, berhenti di kafe, ganti baju, siap-siap di belakang meja bar, dan terakhir menunggu pukul 16.20. Rutinitas yang terlihat sangat membosankan dan terus-terusan terjadi seperti rel kereta yang tidak ada ujungnya. Berputar seperti siklus. Tapi perlu kutambahkan dengan kapital keseluruhan bahwa aku MENUNGGU PELANGGAN BERNAMA KARA, MENYAJIKAN SECANGKIR TEH UNTUKNYA, dan MENYAKSIKAN DIA BERBICARA DENGAN LAWAN BICARANYA.

Aku telah siap di balik meja bar minuman. Tanganku mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, menatap ke arah jam dinding yang terus saja memutarkan jarumnya. Lila menyabetku dengan serbet sengaja sambil terkekeh, "Lo tuh kayak nungguin cowok lo yang dateng ngejemput tahu ga."

Aku membalas dengan mencibir. Setelah adegan emosional yang berujung bahagia tersebut aku menyaksikan lebih banyak kejadian standar. Dia berbicara dengan salah satu teman kuliahnya yang suka banget ngomongin cowok. Dia berbicara dengan salah satu teman lamanya yang suka sekali menggosip dan ngomong "boooo". Dia berbicara dengan salah seorang temannya sambil mengerjakan tugas kuliah. Yah dan begitu seterusnya. Pertanyaan dalam benakku, apa hari ini akan ada kejutan lagi?

Mungkin ada.

16.20
Meja yang telah di reservasi itu masih kosong. Aku nyaris mengutuk hariku. Teramat sangat membosankan menjalani rutinitas biasa dan apa yang aku tunggu-tunggu hari ini menjadi omong kosong. Ketika aku nyaris lengah berjalan ke arah Lila, aku mendengar pintu kafe terayun. Seorang gadis dengan wajah yang tidak asing lagi masuk. Kulitnya putih memucat, bibirnya kering terkatup putih. Kara sedang sakit?

Dia duduk di meja yang telah direservasinya. Lila berbisik sesuatu padaku, "Lo kayak orang jatuh cinta tau ga, Tan! Lesbi dasar!" Dan dengan tegas aku akan mencubitnya. Perlu di garis bawah, aku masih menyukai laki-laki.

Aku menunggunya cukup lama sampai akhirnya dia berjalan sendiri ke arahku dengan tampang letih. "Secangkir teh," ujarnya.

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Ketika dia mengambil bill di tanganku. Ketika dia membayarnya di meja kasir. Dan ketika dia duduk kembali sambil menyeruput secangkir teh yang telah aku sajikan di mejanya. Kali ini gerakannya lambat sekali. Nyaris tidak bersemangat seperti biasanya.

17.00
Seorang pria berusia tidak jauh dari Kara masuk ke dalam kafe. Dia memakai kemeja necis dan celana bahan warna hitam. Sepatunya mengkilap. Rambutnya dibuat cepak pendek. Dan dia tampan.

Pria itu duduk di depan Kara. Menatapnya tenang lewat mata coklatnya yang penuh perhatian. Dan dia berkata, "Apakabar, dek?"

----------------------------------
bersambung...

sabato 21 agosto 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter III)
--------------------------
Kali ini Kara kembali menyeruput tehnya. Dia tersenyum pada sepupunya yang masih menegang sementara pinggulnya belum panas menempel pada kursi. "Ada seseorang yang pernah bercerita padaku bahwa dia meninggalkan sebuah surat di balik buku catatan Ekonomi teman sekelasnya. Dia tidak menyertakan namanya di sana. Dia hanya menuliskan bahwa sejak pertama kali seorang gadis bermata hijau gelap seperti gadis-gadis India cantik masuk ke dalam kelasnya dan melemparkan senyum paling hangat, gadis itu telah mengubah semua dunianya.

"Orang itu bercerita, gadis itu biasa. Semua orang melihatnya biasa. Tapi dia melihatnya berbeda. Ketika semua bergerak dan terekam dalam fragmen ingatan. Aku mendengarkannya dengan saksama setiap kali dia datang ke rumahku dan mencari sepupuku dan ternyata sepupuku sering sekali sedang pergi. Dia menunggu hingga larut. Tapi sepupuku tak kunjung kembali.

"Aku ingat waktu mereka pertama kali keluar rumah. Aku masih sangat tiga belas tahun di mana sepupuku enam belas tahun. Dan orang tersebut tetap menunggu sepupuku setiap kali dia datang, dengan harapan bahwa suatu hari dia sadar bahwa orang tersebut mencintainya. Ketika mereka pulang dari seharian bepergian entah ke mana aku melihat wajah sepupuku begitu ceria. Dia membaca semua surat yang selalu di selipkan di bawa buku catatan ekonomi. Dia menangis bahagia kadang-kadang. Dan aku melihatnya tetap menyembunyikan perasaannya ketika orang tersebut menyatakan perasaannya.

"Aku ingat di hari liburan waktu aku berusia 15 tahun. Sepupuku berikrar akan menikahi seorang pria yang dengan apa adanya menerimanya di saat sempurna dan kacaunya. Yang setia menunggunya hingga larut malam. Dan mampu membuatnya jatuh cinta setengah gila. Yaaahhh dan akhirnya sepupuku benar jatuh cinta kan. Dan dia berkata dia menemukan pangerannya ketika umurnya tujuh belas tahun. Saat orang tersebut mengira dia sudah benar-benar terlambat untuk terus berharap. Dan sepupuku menerimanya."

Aku seperti mendengar sebuah dongeng yang dibuat-buat. Seperti bukan sebuah realita. Sejenak aku mengira Kara adalah seorang pendongeng atau seorang novelis yang sudah terbiasa membuat orang menangis dengan caranya bercerita. Tapi kini Farah menangis menatap tangannya yang menggenggam segunung tisu kotor.

"Cukup!" potong Farah ketika Kara melanjutkan ceritanya. "Siapa yang salah, Kara?"

"Salah? Sebenarnya tidak ada yang salah dari awal, sayang. Kau hanya tidak bisa menangani emosimu sendiri. Kau sedang mengandung dan kau haus perhatian. Wanita menjadi sangat sensitif ketika mereka mengandung. Salman tetap menghubungiku membicarakan bagaimana caranya dia menanganimu yang sering marah belakangan ini. Aku kira dia sudah mampu menanganimu seorang diri. Tapi percaya padaku Farah, sejujurnya kau yang berubah."

"Aku? Kenapa harus aku?"

"Karena aku juga bertanya-tanya mengapa ibuku yang berubah?"

"Apa yang salah dengan wanita, Kara?"

"Tidak tahu."

"Aku tahu kau tahu."

"Aku benar-benar tidak tahu. Aku diberikan hak memilih untuk itu aku memilih untuk tidak berubah. Karena aku tidak punya alasan untuk berubah."

"Dan aku?"

"Kau juga tidak punya alasan untuk berubah. Tapi kini kau punya alasan, kau ingin rumah tanggamu kembali normal kan? Aku tahu dalam hati kecilmu kamu tidak ingin bayimu lahir tanpa ayah. Aku lebih tahu lagi bahwa Salman selalu ingin ada di sampingmu setiap detik setiap saat ketika bayi itu lahir ketika bayi itu menjadi salah seorang kebanggannya yang akan melengkapi kebahagiaan kalian."

"..."

"Jika beberapa tahun yang lalu aku boleh bertanya pada ayah dan ibuku aku ingin berkata, apa aku dan Kimi tidak cukup untuk mereka tetap bahagia? Apa hebatnya orang lain jika kita berempat bisa lebih hebat dengan kebahagiaan kita sendiri? Tapi ketika seseorang sudah punya alasan yang lebih kuat untuk mengatakan berpisah itu tidak akan ada gunanya. Dan selama kamu masih tidak punya alasan apapun untuk benar-benar kuat menjalani ini sendirian, kembalilah... Suamimu menyayangimu suamimu mencintaimu."

Mereka terdiam. Aku melihat mata Kara berkaca-kaca, dia menengadah menatap bohlam lampu di atas. Terlihat berpikir. Sedangkan Farah terdiam di tempatnya duduk merenung dan menangis sembari mengelus perutnya, dia tersenyum kecil beberapa kali.

Beberapa menit kemudian Kara mengangkat ponselnya. "Iya masuk saja," sahutnya.

Aku menangkap bayangan seseorang berlari di luar jendela. Dia masuk lewat pintu kafe yang terayun ketika ada salah seorang pelanggan yang keluar. Seorang pria tinggi dengan kemeja biru gelap, tampak baru saja pulang kerja. Wajahnya menyiratkan kecemasan. Dia melihat ke arah Kara dan Farah. Tampangnya lega dan terlihat nyaris menangis.

Dia mendekat perlahan di belakang Farah. Menyentuh bahunya ragu sementara Farah tak berkutik di tempatnya begitu pula Kara.

"Faya...," sapanya pelan. Farah menoleh cepat menemukan tubuh suaminya di hadapannya. Dia menjatuhkan dirinya ke pelukan suaminya dan suaminya menangkapnya, mengeratkan kedua tangannya dalam pelukan hangat. "Maafkan aku demi apapun maafkan aku sayang...," isak Salman sambil mengecup kening istrinya.

Meja itu kembali menjadi pusat perhatian. Semua orang menatap drama unrealistis yang benar-benar terjadi itu. Sedangkan si pelaku pendamping serba tahu, Kara... terdiam dengan senyum bangga di wajahnya.

"Aku yang harusnya minta maaf. Maafkan aku Salman. Aku yang tidak mengerti..."

Hari itu aku melihat lebih banyak drama dari sebuah cerita yang kukira sangat singkat. Ada alter ego dari sosok Kara yang semakin membuatku berpikir. Bagaimana gadis ini mampu melalui segala hal yang begitu besar terjadi di hidupnya? Apa dia begitu kuat? Apa dia sudah terlalu terbiasa dengan segala hal tersebut? Apa yang menyebabkannya tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri sedangkan semua orang mampu diselamatkannya?

Malam ini ditutup dengan tiga cangkir teh di atas meja tersebut. Aku tidak pernah menyajikan lebih dari satu cangkir di meja itu selama ini. Tapi aku kira ini mungkin akhirnya yang bahagia sementara ada banyak orang lain lagi yang mungkin memiliki akhir yang berbeda dalam kisah selanjutnya.

--------------------------------
bersambung...

venerdì 20 agosto 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter III)

-------------------------
Farah terpaku sesaat. Matanya yang sembab dan nanar menatap Kara penuh kebingungan. Keningnya berkerut berpikir. Dia menggeleng tidak mengerti. Tapi Kara menunggunya dengan diam, berusaha mengisyaratkatan sesuatu. Sampai beberapa kata keluar dari mulut sepupunya tersebut.

"Itu sudah lama sekali," ujar Farah.

"Lama? Kita baru 15 tahun saat mengungkapkan semua itu"

"Itu lama."

Mereka terdiam. Farah terdiam menatap ubin. Dia melepas genggamannya pada tangan Kara yang sudah memerah. Dia mengambil tasnya, "Mungkin aku juga bicara pada orang yang salah saat ini." Dia berdiri dan melanjutkan kata-katanya, "Bukan ini yang aku butuhkan, Kara."

Kara membiarkan Farah berbalik. "Lalu apa yang kau butuhkan? Seseorang yang mendorongmu untuk menceraikan suamimu?" Kara bertanya, wajahnya naik sepuluh sentimeter. Menengadah menatap ke arah Farah yang tubuhnya bergetar perlahan. Tapi saudaranya itu membiarkan kata-kata itu begitu saja dan terus berjalan keluar kafe.

Aku terkesima sesaat. Pertemuan yang cukup singkat. Aku menghitung banyak drama yang terjadi barusan. Tapi sepertinya ini menjadi misteri tersendiri dalam benak pikiranku yang kembali disibukkan dengan bekerja. Namun Kara tetap duduk di sana, menanti babak baru atau orang baru yang akan datang kembali padanya. Dia tetap menunggu sampai senja merah menjadi biru dan gelap perlahan di langit kota.

Aku sedang membersihkan meja bar saat pintu kafe terayun ke dalam. Lila berbisik sesuatu yang aneh dan aku menoleh. Aku pikir pelanggan seperti biasa. Namun sosok yang sedang berjalan tersebut adalah Farah. Dengan semua ketidakwarasan di wajahnya, mata sembab, pakaian yang sama, pipi yang lembab karena air mata, dan rambut yang sedikit acak-acakkan dengan gunungan tisu pada genggaman tangannya.

Aku beralih menatap Kara. Dia masih terduduk di sana. Menatap secangkir tehnya yang masih belum berganti dengan cangkir teh yang lain. Sudah mendingin dan baru diminum setengah. Entah apa yang ada di pikirannya, namun ketika dia melihat Farah kembali ke hadapannya dia tidak berkata apa-apa hanya mengerling sekali.

"Beri aku satu alasan mengapa Salman sangat berarti bagiku, Kara!" desak Farah.

---------------------------
bersambung...

martedì 10 agosto 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter III)

--------------------------------
Adegan yang terjadi di belakangku berlangsung selama satu menit. Sampai akhirnya Kara melepas dekapan kawannya itu. Dia mendudukannya sama seperti waktu dulu dia mendudukkan Kimi--dengan penuh perasaan. Tubuh gadis itu terlalu ringkih. Padahal aku yakin dari perawakannya dia gadis yang sangat kuat.

"Kamu minum dulu, ya Far...," ujar Kara menawarkan teh yang tadinya dihidangkan untuknya tersebut. Gadis itu meneguknya perlahan. Dan dia jauh lebih tenang setelah itu. "Kamu kenapa lagi, Farah?"

Gadis itu bernama Farah. Dan dia menggenggam tangan Kara amat kencang. Aku memindah posisi dudukku sedikit menyamping agar bisa lebih jelas memperhatikan mereka. Maaf mungkin aku tukang nguping. Tapi ini salah satu hal yang membuat perhatianku tercuri dari kota rancu ini.

"Aku sudah tidak sanggup lagi, Kar...," bisik Farah pelan. Aku dapat mendengarnya walau sedikit.

"Ya Tuhan... Farah kamu harusnya pikirkan ini baik-baik. Dari awal. Apa tidak ada yang bisa diselamatkan lagi?"

"Sama sekali."

"Kalian sudah cukup lama menjalani masa pacaran. Lalu kenapa?"

"Pernikahan berbeda dengan pacaran, Kara."

Kara mendengus. "Ini adalah salah satu hal dari sekian banyak hal yang tidak pernah ingin aku temui seumur hidupku kalau aku bisa. Salah satu dari sekian banyak hal yang paling tidak ingin aku bicarakan. Maaf...," elak Kara.

Namun Farah menahannya. "Jangan pergi, Ra! Kamu satu-satunya orang yang bisa aku cari saat ini. Salman tidak mungkin aku temui saat ini. Dia masih sangat emosi setelah tahu yang sebenarnya."

"Iya, sebenarnya bahwa selama ini kalian masih sangat kekanak-kanakkan," tegas Kara. "Dengar Farah, kamu lebih tua dariku. Aku sayang padamu, kamu kakak sepupuku yang menyelamatkanku dari keterpurukan sewaktu mama dan papa bercerai. Sewaktu aku dipisahkan dari Kimi. Kamu yang mengatakan padaku untuk kuat. Dan sekarang aku ingin sekali saja berkata padamu, cobalah untuk kuat. Kalian baru setahun menikah."

"Tidak ada perselingkuhan, tidak ada pertentangan orang tua, kalian sangat serasi dan bahagia. Terlebih kandunganmu, Farah. Kau sedang mengandung dua bulan. Kalian menunggu-nunggunya cukup lama kan?" lanjut Kara.

Dia sedang mengandung? Tidak terlalu terlihat perutnya membesar. Tapi dia terlihat sedikit gemuk.

"Salman tidak ingin bicara denganku."

"Salman ingin bicara denganmu. Dia berkata padaku sewaktu aku chatting dengannya tadi malam. Aku langsung bilang padamu kan. Apa kau tidak coba menghubunginya?"

"Kenapa tidak dia yang menghubungiku?"

"Karena dia menunggu sampai emosimu reda. Satu-satunya orang yang emosinya sedang tidak teratur dalam kehidupan rumah tangga kalian adalah kamu, Farah. Kamu yang menangis kan saat ini, berlari padaku memelukku berkata ingin cerai. Kamu yang menghubungiku sebulan lalu, marah-marah. Mengatakan Salman tidak perhatian dan sebagainya."

"Mama dan papamu yang sudah bertahun-tahun menikah pun bisa bercerai. Kenapa aku tidak?"

Kara terdiam. Aku tahu kata-kata itu sangat menusuk hatinya. Siapa yang menginginkan kehancuran sebuah hubungan yang dibinanya sendiri. Aku melihat Kara sedikit gemetar. Wajahnya memerah dan matanya mulai mengeluarkan air mata ketika dia menunduk malu.

"Apa yang kamu inginkan sewaktu kecil, Farah?" tanya Kara pelan, masih menunduk menjauh dari tatapan orang-orang.

"Aku?" tanya Farah.

"Impian kita berdua, Farah..."

--------------------------------
bersambung...

#Secangkir Teh

CHAPTER III

Ini hari libur yang cukup sibuk bagi seluruh warga kota. Hawa panas di luar sana tidak menghalangi para pecinta waktu menghabiskan waktu luang. Mereka berlalu lalang entah pergi ke mana dengan pakaian-pakaian terbaik mereka.

Aku tidak bekerja hari ini. Lila pun begitu. Digantikan dengan dua orang yang entah siapa aku juga tidak kenal, mungkin karyawan baru yang dipanggil setiap hari libur. Tapi aku datang siang ini karena aku bosan berada di rumah. Jadi aku membawa seluruh tugasku dan duduk di satu meja dengan satu kursi kosong, mengaktifkan laptopku dan menggunakan fasilitas wi-fi kafe kakakku ini.

Tempatku duduk menghadap jendela dan tepat tertuju pada trotoar yang penuh dengan manusia-manusia yang berlalu lalang. Dan terkadang aku dapat menyaksikan kemacetan yang menjadi ketika sebuah mobil yang tadinya di parkir ingin keluar dan bentrok dengan mobil-mobil lain yang masih ingin terus berjalan. Sungguh ini sebuah kenikmatan tersendiri bagi seseorang seperti diriku.

Kota ini mungkin terlalu sesak dan terlalu penuh. Terlalu metropolitan dan bahkan mungkin terlalu 'gaul' dan mendekati norak. Tapi banyak hal menarik yang membuat perhatianku tercuri. Termasuk sore ini. Pukul 16.19.

Aku sedang mendengarkan bersenandung sesuai dengan lagu yang menggaung dari earphone. Dan seperti biasa, setiap beberapa menit mataku akan teralih menatap jalanan di balik jendela kafe. Seorang gadis dengan rambut panjang, terusan floral, sepatu kanvas warna abu-abu, jaket kulit warna coklat dan tas warna merah marun lewat di hadapanku. Aku mengikuti geraknya hingga masuk ke dalam kafe dari pintu masuk, dan aku melirik jam tepat 16.20.

Dia berjalan. Aku mengalihkan pandangan. Melepas earphoneku cepat dan melirik dari ekor mataku. Dia memesan sesuatu di meja bar minuman. Membayar di kasir dan dia duduk di meja yang biasa. Meja dengan tulisan RESERVED di atasnya. Dan yang baru aku sadari meja itu cukup dekat jaraknya dengan mejaku.

Tak lama kemudian secangkir teh diantarkan untuknya. Aku mendengar dia mendengus. Sepertinya itu pentahbisan setelah melewati banyak masalah hari ini. Aku sudah tidak bisa menghitung lagi sudah berapa sering di kembali kemari. Setiap hari. Dan aku lupa ini sudah hari ke berapa. Dan sudah berapa orang yang bertemu dengannya.

Aku kembali fokus pada tugasku. Tapi aku tidak memasang earphoneku kembali. Entah mengapa jika Kara sudah duduk di tempatnya. Seperti ada magnet tersendiri yang memintaku untuk mendengarnya.

Gerak selanjutnya, Kara menuju meja bar makanan dan memesan. Kembali membayar di kasir. Dan tidak lama kemudian sebuah tenderloin steak datang ke mejanya. Bersamaan dengan seseorang yang masuk lewat pintu masuk kafe. Seorang gadis dengan mata sembap dan wajah cantik yang sekarang nampak kacau.

"Kara...," rengeknya. Dan dia datang memeluk Kara erat dan tiba-tiba menangis dengan sesenggukan pelan.

---------------------------
bersambung...

domenica 8 agosto 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter II)

-------------------------
Kara berpindah duduk. Dia menarik kursinya mendekat ke arah adiknya. Aku tidak dapat melihat wajah Kara sekarang, karena dia memunggungiku. Namun aku dapat melihat tangan Kara bergerak. Dia menyampirkan lengannya untuk mendekap adiknya. Dan aku mendengar tangis isak si kecil Kimi.

"Sudah sayaang...," ujar Kara menenangkan. Aku tidak pernah melihat sisi semanis ini dari gadis dingin di hadapanku ini.

"Ella jahat padaku. Dia merebut mama. Dia mendapatkan semuanya, boneka kakak yang kakak berikan padaku, baju-baju kakak yang masih tersimpan di dalam lemari, dia mendapatkan kamar kakak tempat aku melarikan diri bila aku kangen kakak. Ella cantik. Ella sudah remaja. Ella temani mama ke salon. Ella temani mama ke mall. Ella memfitnah ku cengeng tiap hari. Ella suka menjambak rambutku," adu Kimi. Dia menarik ingus yang tertahan di hidungnya dan tangisnya pecah dalam bisu tenang.

Di luar perlahan senja menghilang. Menyisakan semburat lembayung petang pada langit. Lampu-lampu kota mulai menyala. Memancarkan sedikit sinar pada wajah jalanan. Kafe semakin ramai dan penuh sesak orang-orang yang lelah sepulang kerja. Dan aku berkata pada Lila, "Kau mau dengar cerita seru lagi kan, Lil?"

Lila memutar dua bola matanya, "Oke, I could handle it. Duduk aja sana biar Ibi bantuk aku," tanggap Lila seperti mengetahui maksudku untuk mendengar lebih banyak dari pembicaraan Kara dan Kimi.

Aku memperhatikan Kara menghapus air mata di wajah Kimi. Aku mampu melihat gerak tangannya walau di separuh wajah adiknya. Kali ini aku melihat Kara dalam sosok keibuan dan sosok yang penuh dengan banyak masalah.

"Kamu bisa minta kembalikan," ujar Kara.

Kimi menggeleng. "Mama membela Ella. Bahkan papa Ella juga. Aku takut. hiks... hiks... aku masih kecil kakak."

"Kimi sayang...sstt... sudah jangan menangis lagi. Kita bisa cari lagi bareng-bareng."

"Hikss hikss... kakak harus tahu. Aku gamau pengganti. Aku cuma mau kakak. Kakak bisa gantiin semua itu. Aku mau pulang sama kakak sama papa. Aku nggak mau tinggal sama mama, sama papa Ella, sama Ella. Nggak mau hiks hiks.. nggak mau."

Kara terdiam. Dia menyuruh Kimi untuk minum sedikit agar dirinya tenang. Tapi Kimi menolaknya. Dia menarik tangan kakaknya. Menggenggam jemari Kara dalam genggaman tangan kecilnya.

"Kakak... bawa aku sama kakak," mohon Kimi.

"Kakak nggak bisa, Kimi."

"Kenapa?"

"Perjanjian hak asuh kamu sama mama dan kakak ikut papa. Itu nggak bisa diganggu gugat lagi. Papa mama udah sepakat. Kakak..." Kara terdiam. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk. Dia mengenali sosok yang berjalan ke arahnya tersebut.

"Kakak?"

"Mama?"

Seorang wanita yang umurnya sudah kepala 5, namun masih tetap cantik berjalan ke arah meja Kimi dan Kara. Dia menarik tangan Kimi dari tangan Kara dan memaksa Kimi berdiri. Itu tadi sedikit kasar! Aku ingin sekali beranjak dari tempat dudukku dan menahan wanita itu menarik Kimi meskipun dia ibunya.

"Kamu bawa adik kamu sampai sini! Pintar banget kamu, Kara!" hardik wanita itu dengan suara tinggi. Semua mata tertuju ke arah meja tersebut.

"Ma..."

"Kalau Ella nggak kasih tahu mama Kimi pergi dari rumah dan papa kamu nggak kasih tahu mama kalau kamu suka pergi ke sini mungkin saja mama nggak akan ketemu sama Kimi lagi."

Kara mencoba menyentuh tangan ibunya. Namun tangan itu sudah bergerak menampar pipi pucat Kara.

"Mama...," isak Kimi. "Kakak nggak salah!"

"Nggak salah apa! Kita pulang Kimi. Nggak usah kamu ketemu-ketemu lagi sama kakak kamu yang kurang ajar ini. Biarin aja dia tinggal sama papanya yang bajingan itu."

Wanita itu menggendong tubuh kecil Kimi dan berlalu menjauh. Sementara Kara terpaku di tempatnya dia menangis. Aku tahu dia menangis di antara mata-mata yang melihatnya. Pertama kalinya aku melihatnya menangis. Kepalanya bergerak mengikuti sosok ibunya bergerak di luar jendela sampai ke sebuah mobil Merci di luar. Dan seorang pria bersama seorang gadis remaja keluar dari sana. Itu papa tirinya bersama Ella, saudara tirinya.

Kara terduduk di tempatnya seiring orang-orang yang tadi memperhatikannya mengalihkan pandangan mereka. Dia tertunduk dan aku tahu dia menangis.

Kara berada di sana hingga larut. Dan aku tahu dia sangat kacau. Aku menghidankang secangkir teh gratis untuknya agar dia tenang. Dia pulang ketika kafe nyaris tutup. Langkahnya gontai dan pandangannya kosong ketika aku mengantarnya hingga ke pintu keluar.

Kali ini pertama kali aku bicara padanya. Dia berkata, "Sejauh mana kau melihat? Kini kau tahu tidak semua hal di dunia ini sesempurna wajah kami. Bahkan hidup seorang gadis kecil berwajah seperti malaikat."

Dan dia berlalu berjanji akan datang lain hari. Tapi kenyataannya dia datang keesokan harinya. Tentunya dengan kisah baru.

--------------------
bersambung....

sabato 31 luglio 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter II)

---------------------
"Kimi sayang... kakak ngerti kamu mau ketemu sama kakak, tapi kakak juga ga akan ngajak kamu kalau mama ga ijinin kamu," terang Kara pelan kepada adiknya.

Dua kakak beradik itu sama-sama terdiam. Sang kakak memandang adiknya teduh dan khawatir. Sedangkan adiknya terdiam menunduk dan terlihat ingin menangis. Pipinya merona merah. Aku dapat melihat dengan jelas dari samping, bahwa wajah mereka nyaris serupa. Namun Kimi terlihat seperti miniatur cilik tubuh Kara.

Kimi menengadah menatap kakaknya. "Kenapa papa dan kakak ga bisa tinggal satu rumah sama aku dan mama lagi sih?" tanyanya lugu.

Kara mendengus. "Ada banyak hal yang sebaiknya tidak kamu ketahui Kimi sayang. Kalau kakak boleh memilih kakak lebih suka tidak mengetahui alasannya."

"Aku nggak ngerti," tanggap Kimi sembari menggelengkan kepalanya.

Kara tersenyum. "Kamu mau makan apa, sayang? Kakak beliin fusili tuna mau? Emang sih bukan kakak yang buat kayak dulu, tapi rasanya sama enaknya kok. Mau ya sayang mau ya..."

Kimi mengangguk antusias. Begitulah caranya menenangkan seorang anak kecil yang hendak menangis. Berikan mereka sesuatu yang mereka suka. Maka Kara berjalan ke arah bar makanan dan memesan di sana. Lalu beberapa menit kemudian dia kembali dan mendapati adiknya tengah menunggu dengan kaki yang bergoyang-goyang kembali.

Aku pergi sebentar untuk melayani pembeli. Dan ketika aku kembali ke meja barku, aku menyaksikan Kimi menyantap fusilinya dengan semangat sambil bercerita banyak hal kepada kakaknya.

"Di sekolahan aku sekarang ada anak baru kak, namanya Theo dan dia anaknya usil banget. Sukanya ngisengin anak-anak cewek gitu. Genit banget ih. Padahal udah umur delapan tahun masih suka buka-bukain rok anak cewek," cerocos Kimi dengan mulut penuh makanan.

"Ah yang bener kamu... hahaha... kamu nggak pernah kan digituin?"

"Ga kak! Aku selalu megangin rokku kalo jalan. Apalagi kalau ada di deket Theo. Waktu itu aku aduin Theo ke Bu Ida. Sukurin kak dia di hukum, orang tuanya dipanggil!"

Mereka terdiam. Kara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Matanya menyiratkan kerinduan pada adiknya yang sedang lahap menyantap fusili. Aku memperhatikan mereka, dan Lila ikut bergabung di sampingku.

"Emmm mama baik-baik saja, Kimi?" tanya Kara membuka obrolan.

"Baik!" jawab Kimi masih tetap asik menyantap fusili.

"Ella bisa jadi kakak yang asik kan, Kimi?" tanya Kara lagi.

Kimi menatap kakaknya dan bibirnya berkerut tiba-tiba. Anak perempuan itu cemberut di tempat. Masih dengan menggoyang-goyangkan kakinya ke depan dan ke belakang, dia menyender ke kursinya. Melipat kedua tangannya di depan dada. Dia terlihat sebal.

"Kenapa Kimi?" tanya Kara.

"Aku benci kakak baruku!"

-----------------------
bersambung...

venerdì 30 luglio 2010

#Secangkir Teh

CHAPTER II

Aku menguap di bibir meja bar. Lila memandangku dengan tatapan skeptisnya. Dia menyikut lenganku dan aku memprotesnya. "Ada apa si, La?"

"Dia datang lagi, Tan!" desis Lila sembari memberikan kode mata ke arah pintu masuk. Seorang gadis, gadis yang sama yang beberapa waktu lalu aku ceritakan kembali datang ke kafe ini.

Aku melirik ke arah jam. Pukul 16.20. Tepat! Dia selalu datang pada waktu yang tepat. Mungkin dia bisa teleport dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga tidak pernah lewat barang sedetik pun bahkan tidak pernah datang lebih awal dari pukul 16.20. Aku telah menghitungnya. Ini mungkin kali ke 12 dia datang kemari. Sedang lawan bicaranya sudah berganti-ganti 12 kali pula.

Salah satu yang membuatku sampai betah mendengarkan adalah ketika seorang wanita paruh baya datang kepada Kara. Dia hanya berada di sana sekitar 15 menit, dan wanita itu menunjukkan foto seorang laki-laki. Aku bahkan mengenali foto itu. Itu foto Jeff. Singkat cerita, wanita itu pun pulang kembali karena lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Kara. Kini Kara tidak hanya menghancurkan hati Jeff tapi juga ibunda Jeff.

Kara menghampiri meja bar. "Secangkir teh yang biasa," ujarnya dengan senyuman. Aku memberikannya bon dan dia duduk di meja yang oleh salah seorang pelayan ditarik papan RESERVED nya. Dia telah duduk di sana untuk ke-12 kalinya. Lalu kini aku tengah menyajikan secangkir teh pesanan biasanya untuk ke-12 kalinya juga.

Aku meninggalkan Kara yang duduk dan memainkan jemarinya di atas Blackberry Onyx nya. Yah cukup membuat saya iri. Aku kembali ke dalam meja barku. Membersihkan meja bar, pura-pura tak memperhatikannya. Lila berdeham di sampingku, dia mengkode kembali ke arah pintu masuk.

Seorang anak kecil. Ya aku rasa dia seorang anak kecil yang sangat atraktif. Dia berjalan dengan berjingkat riang, rambut panjang hitamnya dikuncir dua, dia memakai kaus pink bergambar Dora The Explorer, dan celana pendek warna ungu, juga membawa tas yang juga bergambar Dora. Anak itu tersenyum dan berlari.

Kara berdiri dari kursinya dan merentangkan tangan. Dia memeluk anak perempuan kecil itu. Mendekapnya erat dengan senyuman yang sangat mengembang. Dia menggendong anak itu dan mendudukannya di kursi di hadapan tempatnya duduk. "Tunggu di sini ya, Kimi...," peringat Kara yang disambut anggukan yakin oleh anak tersebut. Kara menghampiriku kembali dan memesan jus jeruk.

Aku memperhatikan anak kecil itu. Dia datang seorang diri, namun tidak ada sedikit pun sirat ketakutan di wajahnya. Kimi--begitu Kara menyebutnya--duduk dengan tenang di kursinya. Kakinya bergantian bergoyang ke depan dan ke belakang. Wajahnya tetap tersenyum sepanjang yang aku lihat.

"Kimi ke sini sama siapa?" tanya Kara.

"Sendiri," jawab Kimi bersemangat. Kakinya masih bergoyang-goyang. Aku menghampiri mereka dan menyajikan jus jeruk tersebut di depan Kimi. "Aku bilang sama mama aku mau ketemu kakak. Jadinya tadi aku naik taksi dibekelin uang."

"Kimi kenapa ga bilang sama kakak kalo ga ada yang anter," keluh Kara. "Kan bisa kakak jemput di rumah. Kamu kan masih delapan tahun bahaya sayang. Kok mama biarin kamu sih! Atau jangan-jangan kamu yang kabur?!"

Kimi terdiam. Kali ini dia tidak tersenyum. "Sebenarnya mama ga ijinin aku ketemu kakak. Tapi aku kangen kakak. Aku kira kakak sama papa..."

Saat itu juga aku tersentak dari rutinitasku. Di sinilah titik aku kembali mendengarkan dan tertarik dengan pembicaraan Kara.

----------------
bersambung

venerdì 16 luglio 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter I)

--------------------------
Jeff menarik nafas. "Masalah? Selama ini aku tidak pernah merasa kita punya masalah."

"Sesungguhnya itu masalah terbesar kita. Karena kamu tidak tahu bahwa kita punya masalah, Jeff," tegas Kara. Dia terdiam sejenak, menyeruput tehnya. Rautnya yang khawatir kembali normal. Dia bersandar di kursinya.

"Kita sudah tiga bulan bersama Kara, seharus..."

"Seharusnya apa?!" potong Kara. "Tiga bulan bersama? Apa yang bersama? Aku bukan pacarmu, Jeff! Ingat! Aku bukan siapa-siapamu. Aku hanya... aku hanya orang yang selalu kau kecup, selalu kau harap menjadi milikmu, selalu dan selalu kau anggap mencintaimu."

Aku melihat Jeff mulai gelisah di tempatnya duduk. Jakunnya naik turun di lehernya yang panjang. "Kara..."

"Kau tidak pernah menyatakan apa-apa padaku yang meminta aku untuk menjadi kekasihmu!" sela Kara lagi.

"Tapi mengapa tidak pernah kau katakan padaku bahwa kau tidak mencintaiku? Kenapa kamu tidak pernah marah ketika aku mengecupmu, menggenggam tanganmu, merangkulmu, mengatakan cinta setiap malam, berkencan denganmu, dan..."

"Kamu terlalu batu. Kamu tak pernah dengarkan apa yang aku katakan. Ingat apa yang pertama kali keluar dari mulutku ketika malam pertama kau mengecupku," desis Kara dia mulai tidak ingin ada seseorang yang menguping. Tapi aku masih tetap bisa mendengarnya.

Jeff menggeleng.

"Aku tidak suka menjadi milik siapa-siapa. Aku tidak suka menjadi kekasih siapapun."

"Selama ini kau mempermainkanku."

"Iya jika memang perlu. Itu masalah kita. Kau tidak pernah sadar."

Mulut Jeff berkerut. Dia memukul meja cukup keras hingga aku terkaget. Namun Kara tidak tersentak. Dia terlihat dingin dengan tatapannya yang gelap itu.

"Ada banyak hal yang harus kau tahu, Kara..."

"Tentang apa? Cinta? Bullshit! Bawa saja jauh-jauh. Kamu hanya akan seperti laki-laki pada umumnya. Seakan mengistimewakan wanitanya, mendekati mereka, dan memuaskan dirimu sendiri. Perlahan-lahan kau tinggal mereka."

"Demi Tuhan! Sampai sekarang pun kamu masih hidup dengan stereotip macam itu?"

"Aku terlalu picik untuk percaya pada omong kosong. Atau mungkin terlalu realistis untuk tidak mengenal cinta," ralat Kara. Dia maju menatap Jeff. "Dengar Jeff, aku hanya ingin memperjelas masalah kita. Kita terlalu banyak berpanjang lebar."

"Apa? Apa? Katakan padaku!"

"Masalah kita adalah kamu terlalu baik, kamu terlalu tampan, kamu terlalu tidak pernah mendengarkanku, kita terlalu sering berada pada garis demi kebahagianmu, aku bukan milikmu, dan aku tidak suka mendengar kata cintamu, tapi..."

"Ya tapi?"

"Aku menyukai setiap detik yang kulalui denganmu. Bercinta denganmu seperti..."

"Cukup!"

Kara terdiam. Jeff terdiam. Aku terdiam. Menunggu detik-detik kosong itu berlalu dari gerak keheningan.

Jeff memulai lebih dahulu, "Aku mencintaimu Kara. Kamu seperti racun dalam tubuhku, percaya padaku aku... ketagihan padamu."

"Ketagihan?!!!" pekik Kara dengan suara tercekat.

"Atau halusnya, saya terkena pengaruh adiktif," jelas Jeff dengan mata yang mengawang-awang. "Kara...!" Dia mencoba menyentuh tangan Kara di atas meja, namun gadis itu cepat-cepat menarik kedua tangannya dari atas meja. "Kara please..."

"For what?"

"Be my girl."

"Tinggalkan bonmu pergi dari sini dan aku akan bayar semua makananmu. Aku muak melihat wajahmu."

Jeff tak bergerak di hadapan Kara. Kara mendengus kesal dan berkata, "Aku tinggalkan bon ku dan bayar itu semua. Selamat sore."

Hari itu aku melihatnya menghancurkan hati seseorang. Di hari pertamaku bertemu dengannya. Di hari pertama dia datang ke kafe kakak. Di hadapan orang pertama yang menjadi teman bicaranya di kafe ini. Dan di hari ini dia pergi terlebih dahulu sebelum lawan bicaranya pergi. Dia menghilang dari balik pintu itu. Dan Jeff... dia tetap di tempatnya sampai aku menyuruh Lila menegurnya dan memberikan secangkir teh hangat secara gratis agar pria itu tenang setelah ditinggal wanita dingin yang telah mempermainkannya.

Saat itu aku benar-benar mengira Kara tidak akan kembali ke kafe itu. Tapi ternyata aku salah...

----------------------------

bersambung...

sabato 10 luglio 2010

#Secangkir Teh

CHAPTER I

Hai namaku Tania. Ini hari pertamaku bekerja di kafe ini. Tempatnya tenang meski terletak di keramaian daerah tongkrongan Jakarta. Wangi kopi, teh, dan makan-makanan lezat selalu tercium dari sini, bahkan dari radius 200 meter. Aku tidak berharap uang banyak dari bekerja di sini karena kafe ini punya kakakku. Aku hanya mengisi waktu kosongku setelah pulang sekolah. Lagipula rumahku terletak di bagian belakang kafe ini. Jadi aku bisa belajar dan mengerjakan tugasku sembari bekerja.

Bar tempat membuat minuman terpisah dengan bar tempat memesan makanan dan kasir. Entah mengapa kakakku merancangnya seperti itu. Karena pekerjaanku adalah membuat minuman jadi di bar minumanlah aku berada. Tempatnya di pinggir jendela dan bangku-bangku di sekitarnya cukup ramai diisi orang.

Pukul 16.20 ini awalku bertemu dengan Kara. Gadis berambut ikal merah panjang itu berjalan dari pintu dengan wajah cerah cantiknya. Dia mungkin berusia sekitar 20 tahun. Jelas lebih tua dari aku. Dan sejak hari itu aku sudah mengagumi kecantikannya. Dia berjalan ke arah bar minuman dan berkata padaku, "Satu teh manis saja!"

Aku tersenyum sekenanya. Dia duduk di salah satu meja tepat di samping bar minuman,memandang ke arah jalanan. Sejak hari itu, di meja itu selalu ada tulisan RESERVED dan dia selalu duduk di sana. Aku membuatkan teh, dan memberikannya padanya. Dia mengucapkan terimakasih dan menatap ke luar jendela kembali.

Seorang pria datang dari arah pintu masuk. Pria yang cukup tampan, dia berjalan ke arah meja yang diduduki gadis itu. Dia tersenyum. Dan mengecup pipi gadis itu. Gadis itu hanya tersenyum pelik.

"Wau kamu memilih tempat yang bagus, Kara sayang," ujar pria itu. Sejak itu aku tahu namanya Kara.

"Tidak ingin memesan sesuatu, Jeff?" tanya Kara pada pria bernama Jeff yang kemungkinan adalah pacarnya tersebut. "Langsung saja menuju barnya, nanti dikasih struk bayar di kasir pas pulang."

"Oke sebentar ya sayang."

Jeff bergerak ke arah bar makanan dan bergerak ke bar minuman. Dia memesan sebuah latte. Aku membawakan pesanannya dua menit kemudian ke meja mereka, bersamaan dengan dua lasagna yang dibawakan salah satu pelayan kafe dari bar makanan.

"Aku tahu kamu pasti belum makan, Kara. Jangan dibiasakan ya...," ujar Jeff sambil menggeser sepiring lasagna ke arah Kara.

Kara mengangguk singkat sambil tersenyum tapi dia tidak menyentuhnya. Membiarkan Jeff menyeruput latte dan memakan lasagnanya. "Ini enak lho," goda Jeff.

Aku memilih untuk mengalihkan pandanganku dari mereka. Mengapa aku harus menaruh perhatian pada mereka? Toh mereka juga sama dengan tamu-tamu yang lainnya. Datang ke sini untuk makan, minum, mengobrol, dan pulang.

"Jeff...," panggil Kara lembut. Dia melipat tangannya di meja, memajukan kepalanya dan memandang Jeff. Namun Jeff terlalu sibuk dengan hidangan yang disantapnya. "Jeff? Jeff?"

"Ya?" tanggap Jeff tanpa memandang Kara.

"Kita perlu bicara."

Jeff menghentikan makannya dan balas memandang kekasihnya yang cantik itu. Dia terdiam dan menegakkan posisi duduknya.

"Jeff...," desah Kara terlihat putus asa. "Kita ke sini bukan untuk kencan seperti biasa. Bukan untuk bersenang-senang seperti yang selalu kau inginkan. Terkadang kita perlu bicara serius, Jeff. Dan kali ini sangat serius."

"A-apa?'

"Pernahkah kau merasa ada yang salah dengan hubungan kita?" Terdengar nada sendu dari suara Kara. Dia mengeluarkan pertanyaan itu seakan pertanyaan itu sudah bercokol di tenggorokannya berabad-abad, menanti dimuntahkan. Pertanyaan itu membuatku kembali memperhatikan mereka.

Jeff tetap bergeming di hadapannya.

"Ya kita punya banyak masalah yang harus kita selesaikan, Jeff. Aku tidak bohong," lanjut Kara matanya berkilat.


---------------------------
bersambung...

#Secangkir Teh

PROLOG

Apa sebenarnya yang kau saksikan? pakai kacamatamu benar-benar. itu hanya secangkir teh yang biasa aku sajikan. Seorang gadis bernama Kara memesannya setiap hari pada pukul 16.20 di kafe ini. Dia pelanggan setia.

Kara datang dari pintu itu. Dia duduk dengan orang yang berbeda-beda setiap hari. Coba perhatikan dengan saksama siapa yang duduk di hadapannya sekarang? Aku tidak kenal orang itu. Dia tidak pernah muncul kemarin bahkan kemarinnya lagi.

Jangan tanyakan padaku sejak kapan dia memulai rutinitasnya itu. Salah seorang temanku berkata, dia datang sejak aku bekerja di sini. Tepat di hari pertama. Itu berarti sekitar enam bulan yang lalu.

Gadis itu sudah seperti bagian dari pekerjaanku. Rasanya aku tidak pernah sehari tak melihatnya. Kecuali jika kafe ini tutup. Tentu saja dia tidak akan datang ke sini, memesan secangkir teh, dan mengobrol dengan orang yang selalu datang setelahnya. Dia bisa duduk di situ berjam-jam. Kadang bahkan ketika lawan bicaranya sudah pulang dia masih terduduk di sana memandang keluar jendela. Melihat deru kendaraan. Dan baru beranjak sejam sebelum kafe tutup.

Oke sekarang kau boleh melepas kacamatamu dan kembali bekerja. Kita bicara nanti lagi. Aku akan ceritakan beberapa orang menarik yang sering berbicara dengannya. Kadang aku mendengar apa yang mereka bicarakan. Karena aku tidak pernah berdiri jauh-jauh dari mereka.


------------------------
bersambung....