-------------------------
Farah terpaku sesaat. Matanya yang sembab dan nanar menatap Kara penuh kebingungan. Keningnya berkerut berpikir. Dia menggeleng tidak mengerti. Tapi Kara menunggunya dengan diam, berusaha mengisyaratkatan sesuatu. Sampai beberapa kata keluar dari mulut sepupunya tersebut.
"Itu sudah lama sekali," ujar Farah.
"Lama? Kita baru 15 tahun saat mengungkapkan semua itu"
"Itu lama."
Mereka terdiam. Farah terdiam menatap ubin. Dia melepas genggamannya pada tangan Kara yang sudah memerah. Dia mengambil tasnya, "Mungkin aku juga bicara pada orang yang salah saat ini." Dia berdiri dan melanjutkan kata-katanya, "Bukan ini yang aku butuhkan, Kara."
Kara membiarkan Farah berbalik. "Lalu apa yang kau butuhkan? Seseorang yang mendorongmu untuk menceraikan suamimu?" Kara bertanya, wajahnya naik sepuluh sentimeter. Menengadah menatap ke arah Farah yang tubuhnya bergetar perlahan. Tapi saudaranya itu membiarkan kata-kata itu begitu saja dan terus berjalan keluar kafe.
Aku terkesima sesaat. Pertemuan yang cukup singkat. Aku menghitung banyak drama yang terjadi barusan. Tapi sepertinya ini menjadi misteri tersendiri dalam benak pikiranku yang kembali disibukkan dengan bekerja. Namun Kara tetap duduk di sana, menanti babak baru atau orang baru yang akan datang kembali padanya. Dia tetap menunggu sampai senja merah menjadi biru dan gelap perlahan di langit kota.
Aku sedang membersihkan meja bar saat pintu kafe terayun ke dalam. Lila berbisik sesuatu yang aneh dan aku menoleh. Aku pikir pelanggan seperti biasa. Namun sosok yang sedang berjalan tersebut adalah Farah. Dengan semua ketidakwarasan di wajahnya, mata sembab, pakaian yang sama, pipi yang lembab karena air mata, dan rambut yang sedikit acak-acakkan dengan gunungan tisu pada genggaman tangannya.
Aku beralih menatap Kara. Dia masih terduduk di sana. Menatap secangkir tehnya yang masih belum berganti dengan cangkir teh yang lain. Sudah mendingin dan baru diminum setengah. Entah apa yang ada di pikirannya, namun ketika dia melihat Farah kembali ke hadapannya dia tidak berkata apa-apa hanya mengerling sekali.
"Beri aku satu alasan mengapa Salman sangat berarti bagiku, Kara!" desak Farah.
"Itu sudah lama sekali," ujar Farah.
"Lama? Kita baru 15 tahun saat mengungkapkan semua itu"
"Itu lama."
Mereka terdiam. Farah terdiam menatap ubin. Dia melepas genggamannya pada tangan Kara yang sudah memerah. Dia mengambil tasnya, "Mungkin aku juga bicara pada orang yang salah saat ini." Dia berdiri dan melanjutkan kata-katanya, "Bukan ini yang aku butuhkan, Kara."
Kara membiarkan Farah berbalik. "Lalu apa yang kau butuhkan? Seseorang yang mendorongmu untuk menceraikan suamimu?" Kara bertanya, wajahnya naik sepuluh sentimeter. Menengadah menatap ke arah Farah yang tubuhnya bergetar perlahan. Tapi saudaranya itu membiarkan kata-kata itu begitu saja dan terus berjalan keluar kafe.
Aku terkesima sesaat. Pertemuan yang cukup singkat. Aku menghitung banyak drama yang terjadi barusan. Tapi sepertinya ini menjadi misteri tersendiri dalam benak pikiranku yang kembali disibukkan dengan bekerja. Namun Kara tetap duduk di sana, menanti babak baru atau orang baru yang akan datang kembali padanya. Dia tetap menunggu sampai senja merah menjadi biru dan gelap perlahan di langit kota.
Aku sedang membersihkan meja bar saat pintu kafe terayun ke dalam. Lila berbisik sesuatu yang aneh dan aku menoleh. Aku pikir pelanggan seperti biasa. Namun sosok yang sedang berjalan tersebut adalah Farah. Dengan semua ketidakwarasan di wajahnya, mata sembab, pakaian yang sama, pipi yang lembab karena air mata, dan rambut yang sedikit acak-acakkan dengan gunungan tisu pada genggaman tangannya.
Aku beralih menatap Kara. Dia masih terduduk di sana. Menatap secangkir tehnya yang masih belum berganti dengan cangkir teh yang lain. Sudah mendingin dan baru diminum setengah. Entah apa yang ada di pikirannya, namun ketika dia melihat Farah kembali ke hadapannya dia tidak berkata apa-apa hanya mengerling sekali.
"Beri aku satu alasan mengapa Salman sangat berarti bagiku, Kara!" desak Farah.
---------------------------
bersambung...
Nessun commento:
Posta un commento