lunedì 6 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan chapter IV)
--------------------------------
Aku berpura-pura menyibukkan diriku dengan mengelap meja bar, ketika kakakku memperhatikanku sembari geleng-geleng kepala. Dia sudah mulai tahu kebiasaanku datang untuk menguping pembicaraan dari meja salah satu pelanggannya. Ya tapi tetap telingaku terpasang untuk mendengarkan.

"Apa?" ulang Kara sekali lagi. Dia mulai terlihat putus asa memandang Galih.

Galih menarik nafas panjang. Membuangnya perlahan dan mencari posisi ternyaman di kursinya. "Aku bersikeras untuk mengatakan ini padamu sejak dahulu, Kara."

"Apa? Kenapa tidak langsung saja pada intinya?"

"Maaf," sambar Galih singkat. Mereka terdiam saling menatap. "Aku ingin mengucapkan maaf."

"..."

"A-aku ingin minta maaf padamu sejak dahulu," mulai Galih kali ini aku melihatnya sedikit malu. Dia menundukkan kepala dan tidak berani memandang Kara. "Sejak aku menemukan Alin aku ingin minta maaf padamu atas kebodohanku dan atas kesalahanku padamu."

"Aku tidak mengerti."

"Boleh aku bercerita sedikit? Entah mungkin ini akan membuat kamu muak, tetapi ini akan membuat kamu mengerti." Dia berhenti sejenak memandang Kara, mencoba menebak apa yang dipikirkan gadis itu lewat matanya. Kemudian dia menunduk lagi dan mulai bercerita.

"Aku membohongi diriku sendiri, Kara. Aku menyembunyikan ini bertahun-tahun. Aku mempunyai seorang teman kecil yang usia lebih muda dariku. Dia tetanggaku, teman bermainku. Seorang gadis kecil yang suka naik sepeda merah setiap sore. Yang ketika ulang tahunku ke-13 menghadiahiku sepatu. Yang pernah jatuh dari pohon jambu saat bersikeras menunjukkan bahwa dia bisa mengambil sebuah layang-layang. Dan seseorang yang pernah nyaris membatalkan pernikahanku dengan Alin dengan masuk rumah sakit gara-gara pingsan sesaat sebelum ijab kabul."

Kara mematung di tempatnya. Garis-garis wajahnya mengeras.

"Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu, Kara. Aku mencintaimu sejak aku berusia tiga belas tahun dan kau sepuluh tahun. Sejak kamu menghadiahkanku sepatu, sejak kau jatuh dari pohon jambu hingga saat aku mengira bahwa aku salah mencintai Alin. Ya mungkin saja aku salah aku membodohi diriku sendiri. Bertahun-tahun aku menikah dengan Alin. Aku merasa... sangat-sangat tidak tenang dan berdosa."

Aku menangkap gerak-gerik dari tubuh Kara. Tangannya bergerak menggapai jemari Galih yang mengepal. Dia mengelusnya perlahan.

"Aku berpikir untuk menyembunyikan semuanya. Semuanya dalam-dalam, rapat-rapat karena aku tidak berani. Dan aku bertemu Alin. Seseorang yang menaruh lebih banyak perhatian untukku di saat-saat aku memberi banyak perhatian padamu. Seseorang yang dengan lapang dada mendukungku untuk menyemangatimu saat orang tuamu bercerai. Ya dan perlahan aku mencintainya. Tapi seakan-akan nama Kara tidak pernah hilang. Ya dan singkat... aku tetap mencintaimu di sini. Dan aku masih saja terus berkilah.

"Aku kembali kali ini, Kara. Aku ingin minta maaf. Aku harap setelah hari ini semua selesai. Aku menjadi lebih tenang dan kau pun menjadi tenang. Aku minta maaf telah membohongimu... dan..."

"Berikan aku ruang aku mohon, Galih. Berikan aku satu kesempatan. Berikan aku..."

"Aku pria beristri dan memiliki seorang anak."

"Aku tidak peduli!!!" isak Kara, kini tangannya menggenggam Galih erat.

"Tapi aku peduli! Aku peduli pada Alin! Aku peduli pada anakku. Aku peduli pada bayi yang dikandung Alin. Dan aku mencintai mereka semua."

"Dan apa kau mencintaiku?"

Mereka terdiam. Terengah-engah oleh nafas mereka sendiri yang sesak bercampur perasaan.

"Jangan membuat semua ini terasa seperti sinetron, Kara," ujar Galih. "Aku mengajarkanmu untuk realistiskan? Dan aku mengajarimu untuk dapat memilih. Maka aku telah memilih. Aku telah menikah dengan Alin. Dan atas dasar apapun, aku adalah miliknya. Aku tidak berhak mencintai wanita lain. Selain ibuku dan dia." Galih berhenti sejenak. "Tidak terkecuali seseorang yang pernah aku cintai juga."

Kara terguncang. Tapi seperti ingin tabah dan menyembunyikan perasaan sedihnya, dia tertawa. Dia memaksa dirinya tertawa. Melepas genggamannya dan menutupi wajahnya. Masih dengan suara tawanya yang terdengar dipaksakan dan perlahan berubah menjadi tangisan.

"Ini intinya... aku meminta maaf," ulang Galih pasrah.
--------------------------
bersambung...




Nessun commento:

Posta un commento