martedì 14 settembre 2010

#Secangkir Teh

CHAPTER V

Hari-hariku cukup fluktuatif belakangan ini. Aku mulai lebih sering pulang cepat ke rumah. Dan kakakku mulai sering marah-marah padaku sambil berteriak, "Konsisten kerja nggak sih??" Ya dan aku hanya bisa menggeleng dan berlalu ke kamar. Kakak bisa saja memecatku. Tapi toh akhirnya memasuki bulan kelima aku bilang padanya aku hanya akan duduk di balik meja bar minuman bersama Lila sembari membantunya dan bersedia tidak diupahi yang penting aku bisa mendengar pembicaraan dari meja yang bertuliskan RECEIVED tersebut.

Aku mengamati frekuensi pertemuan Kara. Sepertinya dia telah menciptakan padaku sebuah bentuk analisa baru. Analisa psikologi. Membaca bagaimana sifat dan pola pikir seseorang itu sangat menarik. Terutama jika sasarannya adalah seseorang seperti Kara. Emosinya naik turun. Dan serangan yang dilakukannya tidak mudah tertebak. Aku mulai berpikir bahwa dia memiliki kepribadian ganda. Tidak hanya dua. Tapi berganda-ganda.

Tapi aku melihat Kara seperti sebuah pensil. Dia diraut dan perlahan dia pun menjadi runcing. Seperti gadis yang selalu kuat dan selalu teguh pendiriannya. Dan sekali pensil itu dipatahkan dia akan memilih untuk tumpul selamanya. Dan anehnya, tak ada satupun yang berusaha merautnya.

Aku menyadari hal tersebut belakangan ini. Beberapa orang silih berganti duduk di hadapannya. Wajahnya lesu dengan bibir pucat pasi. Menatap ke arah manusia yang asik berbicara. Menceritakan pengalaman mereka. Membahas apa yang dosen mereka katakan. Menawarkan produk. Dan terkadang berusaha membuat Kara tersenyum dan tertawa. Tapi gadis itu pasti akan selalu membalas dengan wajah muram dan anggukan atau gelengan, dan jika benar-benar dia ingin menghargai usaha seseorang dia hanya akan tersenyum simpul.

Entah hari ini akan kembali dengan rupa seperti apa. Aku melihat gulungan asap di luar sana. Sebuah taksi berhenti tepat di depan kafe. Dan Kara keluar dari dalamnya. Lebih lesu dari biasanya. Dia akan masuk seorang diri dari pintu itu tadinya, sampai tiba-tiba seorang ibu-ibu tua membantunya masuk. Ibu-ibu itu tersenyum dan aku melihat sepertinya ada sesuatu yang terjadi dari ajang tatap menatap antara Kara dengan ibu tersebut. Karena akhirnya dia memeluk ibu tersebut ketika pintu tertutup di belakangnya.

Mereka berjalan berangkul-angkulan. Dan untuk pertama kalinya aku melihat Kara menangis sambil tersenyum dengan air mata yang melembab pada pipinya yang perlahan menirus.

"Apakabar cantikku?" tanya ibu tersebut. Ya aku memperkirakan wanita itu berusia sekitar enam puluhan. Seharusnya aku menyebutnya nenek bukan ibu.

"Aku baik-baik saja. Nenek apakabar? Sejak kapan tiba di Jakarta?" tanya Kara dengan wajah sumringah.

Nenek? Dari pihak siapa?

--------------------------------
bersambung...

Nessun commento:

Posta un commento