sabato 31 marzo 2012

Demo(nstrasi)krasi

Demonstrasi di mata saya....

Saya adalah salah satu dari sekian juta masyarakat Indonesia yang memandang sinis demonstrasi. Ya saya juga salah satu dari sekian juta masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa demonstrasi tidak akan menghasilkan solusi apapun.
Dan jika kedua variabel tersebut ditanyakan alasannya maka saya akan menjawab dengan sangat naif.
Untuk statement pertama maka saya akan jawab: di media kita sering temui demo itu akrab dgn anarkisme dan gambar yg disajikan tak urung menggambarkan kekerasan.
Untuk statement kedua maka saya akan jawab: demo belum tentu didengerin karena yang didemoin terlalu sering didatengin massa dan mereka juga ngebiarin aja, it means useless.

Tapi, cobalah berkontemplasi sedikit....

Ini tahun pertama saya sebagai akademisi, mahasiswi di salah satu universitas terbaik negri ini. Mereka menyebutnya "Kampus Rakyat" dan "Kampus Perjuangan" sama dengan apa yang dideklarasikan para senior ketika Reformasi 1998. Di tahun ini pula ada satu momentum nasional di mana teman-teman dari kampus saya ramai-ramai turun ke jalan untuk demonstrasi dan mengawal Sidang Paripurna DPR (30/3/2012) mengenai Pencabutan Subsidi BBM.
Banyak di antara mereka adalah yang kontra terhadap kebijakan pemerintah tersebut, namun beberapa mahasiswa yang pro juga tetap ikut berunjuk rasa.

Bagaimana pendapat Anda?

Saya mencoba meluruskan cara berpikir saya dan menelaah lagi esensi demonstrasi.

Di negara kita which is Indonesia itu demokrasi ya, mengutarakan pendapat adalah hak asasi yang dijunjung tinggi. Di negara kita, mengkritisi pemerintah bagaikan sebuah kewajiban untuk mengawal jalannya kehidupan berpolitik. Ya sebagai masyarakat demokrasi, partisipasi warga negara turut menjadi tolak ukur jalannya pemerintahan. Kalau rakyat tidak suka, bisa-bisa pemerintahan digulingkan. Karena prinsipnya kan kedaulatan rakyat.
Itu dia mengapa demokrasi akrab dengan demonstrasi. Karena di sinilah bukti bahwa masyarakat tidak cuma bisa jadi 'spectators' tapi bisa juga juga jadi 'gladiators'.

Demonstrasi adalah bagian dari aksi. Kita tidak bisa diam saja tentu. Maka dari itu aksi adalah sebuah pilihan. Aksi adalah bentuk rasa bahwa memang ada sesuatu yang harus dilakukan. Aksi membutuhkan pemikiran, membutuhkan konsep, membutuhkan tujuan, membutuhkan semangat, membutuhkan nyali. Demonstrasi adalah yang nyalinya paling besar mungkin. Biarpun kita tahu aksi ini cenderung kurang solutif. Tapi di sinilah menariknya demonstrasi.

Saat ini saya melihat demonstrasi yang multi interpretasi. Bagi teman-teman saya di kampus, demonstrasi adalah cara untuk menunjukkan kepedulian. Makanya demo mahasiswa dari kampus saya sangat-sangat damai dan cenderung tertib dan teratur. (sedihnya ga ada media televisi yang ngeliput, yang diliput yang di gerbang depan DPR yang pagarnya jebol) Tapi bagi sebagian mahasiswa atau aktivis lain, demo artinya berjuang sampai mati. Ini membuat demo terlihat seperti perang. Memang badan harus siap disikut, siap dipukul. Yang di dalam gedung DPR aja kemarin sampai dipiting padahal mereka cuma meneriakkan slogan pro rakyat.

Masyarakat membutuhkan figur yang akan membawa nama mereka dengan tindak tanduk yang bersahabat. Itu mengapa ketika teman-teman saya menuju lokasi banyak masyarakat yang melambai, mendoakan, dan bahkan ketika di lokasi mulai dari pedagang hingga polisi bersikap sangat ramah.

Dan pandangan saya masih sama, buat kampus yang masih bakar-bakar ban atau bakar mobil apalagi merusak fasilitas umum, mungkin makna demonstrasinya harus diubah sedikit. Apalagi kalau mengatasnamakan kepentingan rakyat. Agak dilema moral lho sebenarnya melihat polisi kita yang which is dari kalangan menengah ke bawah 'terpaksa' melawan orang-orang yang juga membela keluarganya karena orang-orang tersebut tidak bisa menjaga ketertiban. Dan mana ada masyarakat yang tidak marah kalau hasil bayar pajaknya dirusakin. Bayangin biaya proyek yang katanya lahan empuk korupsi itu harus dikeluarkan lagi hanya untuk memperbaiki fasilitas umum yang rusak karena demo.

Okey back to topic lagi, demonstrasi ternyata bukan aksi yang useless.
Pemerintah tetap merasa terdesak dengan permintaan massa. Meskipun pemerintah masih memiliki hak untuk mengambil keputusan yang sudah mereka wacanakan sebelumnya.
Setiap orang punya kapasitasnya sendiri untuk menyatakan kepedulian dan menyampaikan pemikiran mereka. Segala aksi dimulai dengan hati. Tetap ingat untuk gunakan logika dalam berpikir dan hati untuk bergerak.
Setiap orang juga punya kapasitasnya sendiri-sendiri. Untuk memulai aksi kita tetap butuh kajian yang jadi dasar tuntutan. Beberapa hanya bisa demonstrasi, sementara yang lainnya bisa masuk ke dalam gedung DPR menyuarakan aspirasi atau menulis artikel opini di koran yang turut serta membangun perspektif masyarakat.
Ya mulai dari sini saya mencoba memandang positif aksi demonstrasi. Biarpun saya tetap tidak setuju kalau ada lempar-lemparan batu dan pembayaran massa. Murni deh kalau dua aksi yang terakhir itu sih namanya cari ribut. Cari ribut itu baru yang ngejelek-jelekin almamater.
Aksi demonstrasi damai bukan berarti main aman dan cari muka. Aksi damai artinya tahu tempat dan tahu batasan.

Selamat malam! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

domenica 25 marzo 2012

Seeing

Saya melihat diri saya, jauh berkaca pada cermin pribadi.

Apakah saya sejahat itu?
Apakah saya benar-benar telah berubah?

Tidak.
Saya rasa saya sudah jauh melangkah dari apa yang pernah saya lalui. Saya sudah jauh dari mengikuti diri saya sendiri. Saya seperti berada 10 langkah lebih maju dari apa yang saya pikir saya mampu lakukan.

Mungkin mereka hanya berpikir, saya adalah perempuan kecil yang terbiasa duduk di balik meja dan alat tulisnya. Diam dengan tenang, membaca keadaan, dan lalu memecahkan masalahnya sendiri. Mungkin juga mereka berpikir bahwa saya adalah orang yang lebih banyak akan bicara mengenai teori dibanding suatu penerapan.

Mungkin.

Mungkin saya menerapkan looking-glass self itu pada diri saya sendiri. Memantapkan role taking untuk menilai diri saya sendiri sebagaimana orang menilai saya.

Kening ini mulai sering berkerut dan mata saya terasa sakit karena memandang matahari untuk mencari jawaban "mengapa ia terlalu terang". Lucu jawabannya ternyata ada pada buku.

Ada satu isu sosial yang menyita waktu saya belakangan waktu ini. Saya bukan bagian dari pengambil keputusan, bukan juga bagian dari 'polisi kebijakan'. Ya saya hanya bagian dari masyarakat. Entah mengapa menjadi suatu pertentangan batin tersendiri ketika saya menyatakan sikap dan terlalu banyak orang yang menyerang. Apakah saya salah?

Ya mungkin bisa jadi saya salah. Dengan dihakimi sudah mati rasa, dihakimi tidak punya hati, hingga dihakimi menutup mata.

Namun ketika sikap ditentukan saya tidak pernah menengok ke belakang, karena yang saya lihat ada jalan di depan. Ada alasan mengapa saya berjalan. Ada konsekuensi yang harus saya hadapi. Dan ada kalanya untuk berhenti. Satu-satunya yang menjadi doa saya adalah apapun caranya berikanku Tuhan jalan menuju kebenaran.

giovedì 15 marzo 2012

an idealist who always almost realist

mungkin jari-jarimu berhenti menari
mencapai pijitan terakhir di simbol titik (.)
namun jauh daripada itu
otakmu masih berkelakar
berbicara dengan lantang
biarpun mulutmu bisu karena dikekang

mungkin lidahmu tumpul
dipotong koalisi karena membela oposisi
namun kupingmu tidak tuli
bahkan untuk sekedar menjadi apolitis

mungkin kamu berpikir semua berakhir di sini
makna lain dari menjadi idealis adalah memahami
bahwa realitas yang ada memang pelik
bahwa seluruh indramu terkunci tetapi masih dapat berfungsi
bahwa kakimu masih berjalan ke arah yang benar
pergerakan bukan berasal dari kinerja otot lengan
tapi bagaimana kita menghadapi
tanpa skeptis dan kritik berlebih
namun dengan hati untuk mencari solusi

mungkin aku kamu masih muda
mungkin aku salah
mungkin kamu salah
namun selama kita tidak pernah berhenti mencari
dan selama masih ada selembar uang di balik timbunan sampah
berarti masih ada titik cerah yang paling realistis di antara cemoohan