martedì 28 settembre 2010

count down the days

bantu aku berdoa ya Gery... dan temani aku menghitung!

aku menghitung hari-hari mundur menjelang LPJ MPK/OSIS/EKSKUR
aku menghitung hari-hari mundur menjelang SERAH TERIMA JABATAN OSIS
aku menghitung hari-hari mundur menjelang ULANGAN TENGAH SEMESTER
aku menghitung hari-hari mundur menjelang RAPOR MID SEMESTER
aku menghitung hari-hari mundur menjelang 1 TAHUN "HUBUNGAN" KITA dst
aku menghitung hari-hari mundur menjelang RAPOR SEMESTER 1
aku menghitung hari-hari mundur menjelang SIMAK UI
aku menghitung hari-hari mundur menjelang UAN/UAS/UJIAN PRAKTEK
aku menghitung hari-hari mundur menjelang PENGUMUMAN UNIVERSITAS
aku menghitung hari-hari mundur menjelang KELULUSAN
aku menghitung hari-hari mundur menjelang PERPISAHAN SMA
aku menghitung hari-hari mundur menjelang MASA KEMAHASISWAAN
aku menghitung hari-hari mundur menjelang WISUDA
aku menghitung hari-hari mundur menjelang PENCARIAN KERJA
aku menghitung hari-hari mundur menjelang PERNIKAHAN KITA
aku menghitung hari-hari mundur menjelang KELAHIRAN ANAK-ANAK KITA
aku menghitung hari-hari mundur menjelang MASA KEJAYAAN KELUARGA KITA
aku menghitung hari-hari mundur menjelang NAIK HAJI
aku menghitung hari-hari mundur menjelang PERNIKAHAN ANAK KITA
aku menghitung hari-hari mundur menjelang KELAHIRAN CUCU
aku menghitung hari-hari mundur menjelang KEBAHAGIAAN AKHIR
aku menghitung hari-hari mundur menjelang KEMATIAN...

di sinilah titik baliknya setelah semua kutitih dari sekarang
mungkin akhirnya sama seperti yang lain sama-sama mati...
tapi mati yang bagai mana?
aku harap waktuku menghitung mundur diisi dengan hal-hal yang bermanfaat
janganlah jadi manusia yang merugi
ingin aku mati dengan senyum, damai, tenang, dan siap menghadap-Mu
dan sampai hari itu tiba
berilah senyum di wajah-wajah mereka
yang akan mengingatkanku akan wajah dan nama mereka
ketika kami bertemu di surga dan mulai lupa satu sama lain...

surat, sore, dan lagu pengantar pulang

aspal masih dilindas kendaraan kelas berat
tertimpa debu dari putaran roda
dan roda berputar seperti jalannya kehidupan
seperti siklus tanpa henti
sama seperti perjalanan yang seolah-olah tak pernah berhenti
memacu adrenalin remaja yang dilanda kalut
dan kembali lagi ini di jalanan

aku sering bilang aku suka jalanan

ketika semua rupa orang menjadi kenyataan
gundik pekerja waktu mengisi setiap sisi
memenuhi ruang kota yang semakin sempit
dan kereta api memainkan alunan rel besinya
klakson mobil beradu dengan teriakan liar preman dan pedagang
motor menyerbu layak kawanan capung di langit-langit yang menjelang hujan

aku sering bilang aku suka suasana seperti ini

hari ini...
suasana seperti ini...
dengan surat diujung sore dan lagu pengantar pulang

lalalalalala

aku sering bilang aku cinta hal-hal seperti ini

sama hal aku mencintaimu...

venerdì 17 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter V)
-----------------------------
Mereka duduk di meja dengan tulisan RECEIVED tersebut. Kara tersenyum pada ibu yang dipanggilnya nenek tersebut. "Nenek mau minum apa? Aku mau pesan teh."

"Samakan saja. Tidak pakai gula ya ingat!" jawab neneknya.

Kara datang ke arahku. "Kali ini dua. Satu tidak pakai gula!" pesannya padaku dengan suara yang luar biasa riang. Sangat langka menemuinya dengan wajah dan suara seriang itu.

Aku menyiapkan pesanannya sementara Kara membayar di kasir. Aku memperhatikan ibu-ibu tua itu. Matanya teduh menatap keluar jendela kafe. Di luar sana jalanan kembali lumpuh, kendaraan berjejer menikmati kemacetan Jakarta di petang hari. Klakson bersahut-sahutan tidak keruan. Tapi ibu-ibu tua itu tetap menatapnya dengan ketenangan tersendiri.

Aku mengantarkan dua teh tersebut. Ibu itu mengucapkan terimakasih padaku yang kubalas dengan senyum tulus. Matanya biru itu yang aku baru sadar. Pasti pesona masa mudanya terletak dari mata biru tersebut.

"Sejak kapan nenek tiba di Jakarta?" tanya Kara begitu dia duduk di tempatnya.

"Tadi siang. Nenek menginap di hotel bukan di rumah ibumu," jawab ibu tersebut.

"Tapi mama tahu nenek di Jakarta? Nenek sama siapa ke Jakarta? Jogja-Jakarta itu jauh lho, nek."

"Nenek ke sini sendiri naik kereta. Ibumu tidak tahu, nenek ke sini ingin bertemu denganmu dan ayahmu."

"Aku? Sama papa? Tapi kan anak nenek mama."

"Dan kamu cucuku bukan?"

Kara tersenyum tersipu. "Diminum nek tehnya," tawar Kara.

-------------------------------
bersambung...

dream...dream...and dream...

singkat saja, mungkin gue salah satu dari sekian banyak perempuan yang memilih untuk hidup di dalam mimpi. tapi lebih dari itu semua hal yang menyisakan tanya jawab membawa gue pada satu titik...

gue bisa lebih dari itu.

karena gue manusia yang optimis.

dan tidak seharusnya gue pantang menyerah.

karena gue bermimpi untuk mewujudkannya...

sekian.selesai.dream...dream...and dream...

*) terlalu banyak asam garam yang mungkin belum tertelan tapi pengalaman mungkin bisa jadi guru yang terbaik dengan cara...tidak pernah berhenti mencari dan mencobanya sendiri

martedì 14 settembre 2010

LAMPU LATAR

PROLOG

Aku berdiri di bawah lampu latar. Mungkinini sekedar mimpi yang aku rindukan atau mungkin memang benar ini yang aku butuhkan. Aku terlalu lama berdiri di bawah lampu latar ini. Ingin rasanya sembunyi dan memilih untuk turun panggung.

Tapi berada di sini menyenangkan. Kita tidak akan pernah tahu rahasianya seseorang berhasil berada di panggung ini. Sampai akhirnya kita sendiri yang berada di sini. Bukan atas nama baik keluarga, tetapi sesuatu yang disebut reputasi. Jawaban atas sebuah keyakinan yang aku emban.

BAB I

Ada tiga wanita dalam keluarga ini. Ibuku, kakakku, dan aku. Namaku Sharmaleen Gawitri Bagya--entah apa artinya nama aneh tersebut. Kami adalah para wanita dari wangsa Bagya. Bagian dari keluarga sosialita yang mungkin seharusnya statusnya sudah tergeser.

Ayahku bercerai dengan ibuku tiga tahun yang lalu. Saat itu aku baru berusia 15 tahun. Setelah itu sebenarnya tidak ada satupun penerus nama Bagya lagi dalam keluarga kecil kami. Karena ibuku tidak melahirkan anak laki-laki. Namun ibuku seakan masih ingin terus berada di bawah bendera keluarga ini. Atau setidaknya untuk tetap terus berada di antara kaum sosialita.

Ibuku hanya seorang pemilik butik. Usahanya biasa saja, tetapi pergaulannya luar biasa. Statusnya sebagai seorang Bagya-lah yang membuatnya memiliki banyak relasi. Beliau ikut dalam arisan-arisan dengan istri para pejabat dan pengusaha. Hadir dalam setiap acara pesta elite. Juga tetap aktif cari muka di depan anggota keluarga Bagya lainnya. Mungkin sebenarnya ibu sedang berada pada tubir kebangkrutan karena perilaku konsumtif dan kesukaannya memamerkan kekayaan. Tapi segala hal yang dilakukannya di atas hampir selalu menyelamatkannya dari ancaman kebangkrutan.

"Kamu, mama jemput jam tujuh di rumah eyang, Sharma. Mama harap kamu sudah terima gaun baru yagn mama titip ke Bi Atun dua hari yang lalu," celoteh ibuku di telepon tadi malam.
"Yang warnanya ultramarine? Iya udah," tanggapku ogah-ogahan.
"Mama mau lihat kamu tampil cantik, Sharma. Mama mau semua teman mama lihat salah satu keturunan Bagya yang sempurna."

Aku memutar bola mataku dan menyanggupinya. Menutup telepon dan tertidur. Dan pagi ini aku berdiri di depan lemari pakaianku. Eyang Putri Bagya berada di sampingku.

Aku tinggal bersama eyang putri sejak orang tuaku bercerai. Eyang yang meminta aku tinggal bersamanya. Eyang putri tinggal sendirian di rumah sebesar istana ini. Ditemani tiga orang pembantu yang usianya nyaris setua eyang. Cucu eyang sebenarnya tidak hanya aku. Tetapi karena eyang tidak suka aku tinggal dengan ibu jadilah aku menemaninya sampai sekarang.

"Kamu dan ibumu saja nanti malam?" tanya eyang.
"Tidak tahu. Mungkin Mbak Ranggi nanti datang bersama suaminya," jawabku sembari mengelus bahan gaun yang akan aku pakai nanti malam.

Eyang membelai rambut panjang ikalku, "Ini pesta pertamamu, cah ayu?"
Aku menoleh menatap eyang, "Iya. Aku bersedia ikut karena diadakan di butik baru Tante Gendis, eyang. Mama bilang akan ada banyak perancang busana juga yang akan datang ke sana. Eyang tahu kan..."
"Ya, kamu ingin melihat cara mereka bergaul dan kehidupan mereka..."
"Juga bicara dengan mereka. Aku ingin menjadi seorang perancang busana dan punya butik sendiri."

Eyang menyentuh pundakku dan menarikku untuk menatapnya. Wanita senja berusia 70-an ini masih nampak ayu dan anggun. Keriput di wajahnya menunjukkan garis-garis waktu masa jayanya yang penuh pesona dan kebijaksanaan. Uban putih di mahkota kepalanya menunjukka beban pikirannya membesarkan anak-anak keluarga Bagya. Dan tangannya yang menyampir padaku menunjukkan betapa sayangnya pada kami semua.

Eyang putri menatapku lekat dan berkata, "Munkin ini saatnya kamu megnerti, Sharma bahwa menjadi seorang Bagya itu terlalu mudah. Diakui sebagai Bagya juga terlalu mudah. Satu hal yang sulit, menjadi dirimu sendiri."

Aku tidak mengerti apa yang eyang putri maksud. Aku memang bukan Bagya lagi, tapi aku tetap cucu eyang. Apa maksud eyang berkata seperti itu untuk mengusirku perlahan dari keluarga ini?

"Jangan pasang wajah bersungut seperti itu, cah ayu...," goda eyang sambil menyapu hidungku dengan telunjuknya. "Kamu harus bisa menjadi Sharmaleen Gawitri-mu sendiri. Keluar dari bayang-bayang bagya dan mewujudkan mimpimu sendiri. Itu baru seorang wanita Bagya. Bukannya gadis yang akan menikah dengan pengusaha kaya demi reputasi kasta atau wanita yang aktif tampil di pesta para sosialita. Eyang tidak pernah mengajari itu."

Aku tersenyum menatap mata coklat eyang yang bersinar penuh harap menatapku. Eyang membuang nafas, mengelus lembut pundakku dan berkata, "Eyang harap kamu lebih berani dari Ranggauni saat pesta pertamamu. Kita tidak pernah tahu apa yang ibumu rencanakan pada anak-anak gadisnya... Huh eyang sering kecewa dengan sikap ibumu."

"Eyaaanng sudahlah...," mohonku agar Eyang berhenti mencemooh ibuku. "Mama memang tukang pamer. Tapi mama tetap orang yagn melahirkan dan membesarkan aku. Eyang percaya deh, Sharma bisa jaga diri."

Eyagn mengangguk perlahan. Beliau mengelus rambutku lembut dan keluar dari kamarku. Kini aku sendiri di hadapan gaun tersebut. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Empat jam lagi ibuku datang menjemput. Sejenak aku menatap pantulan diriku di cermin yang terdapat di balik pintu lemari yang terbuka. Dan aku teringat sedikit kalimat-kalimat eyang tadi.

Mbak Ranggi atau Ranggauni Gasantri Bagya. Kakakku duu juga sempat tinggal bersamaku dan eyang. Walau hanya selama tiga bulan. Karena dia tidak tega meninggalkan ibu kami sendirian di apartemennya. Padahal ibu juga tidak memintanya. Ibu hanya kelewat sering menghubungi kami, tapi hanya untuk tahu kabar. Beliau terlalu sibuk untuk berada di rumah dan mencurahkan seluruh kasih sayang pada kami. Sedangkan Mbak Ranggi yang kala itu masih 18 tahun memutuskan bahwa dia harus tinggal bersama ibu dan membuat ibu senang, karena setelah perceraian kondisi ibu sangat memprihatinkan.

Aku memandang dan mengeluarkan gaun ultramarine itu dari lemariku. Eyang berbicara sesuatu mengenai pesta dan Mbak Ranggi tadi. Dan aku ingat sesuatu tentang kedua hal itu. Mbak Ranggi juga pergi ke pesta sosialita waktu usianya 18 tahun. Pertama kali dalam hidupnya mengenal semua 'orang itu'. Setelah lama disembunyikan oleh kedua orang tuaku. Pada hari itu aku kehilangan kakak perempuanku. Karena dia 180 derajat telah berubah.

* * *
"Dreet... dreet..."
Ponselku bergetar di meja rias. Aku sedang berkaca terakhir kali untuk memastikan penampilanku baik-baik saja malam ini. Dan ibuku menelepon. Aku menghela nafas sekali dan mengangkatnya.
"Ya ma...?" sapaku.
"Kamu sudah siap? Mama sudah di depan gerbang rumah eyang. Cepat ya! Mama tunggu atau kita terjebak macet di Kuningan. Pasti kamu tidak mau terlambat ke pesta pertamamu kan?" cerocos ibu.

Aku memungut purse berwarna violet dari meja riasku dan memasukkan ponselku ke dalamnya. Aku mencoba membiasakan berjalan anggun dengan hak tinggi saat keluar dari kamar. Berpamitan dengan eyang putri yagn sedang membaca buku di ruang kerjanya dan pergi menuju mobil ibuku.

"Hello darling!" sambut ibu ketika aku duduk di sampingnya. Ibu malah mengecup kedua sisi pipiku ketika aku hendak mencium tangannya seperti yang eyang selalu ajarkan. "Apakabarmu?"

"Baik," jawabku berusaha bersamangat. Sudah lebih dari sebulan sejak terakhir kali aku bertemu ibuku pada acara makan siang rutin kami setiap bulna. "Mama sendiri?"

Mobil mulai berjalan. Dalam keremangan aku dapat melihat rona muda ibuku masih terpancar. "Tentu saja baik, nak!" Wanita di awal 45 tahun ini selalu seperti itu. Aku tahu ibu bohong, ibu sedang tidak baik-baik saja.

Ibuku seharusnya menjadi sumber inspirasi anak-anaknya karena memang begitu seharusnya seorang ibu. Sewaktu kecil aku ingin seperti ibuku, punya butik sendiri. Ibu yang memperkenalkanku dengan fashion dan mode. Tapi lebih dari itu aku sadar ibuku bukan sosok yang aku butuhkan untuk menyayangiku. Karena beliau tidak pernah punya waktu untuk sekedar mengecup keningku di waktu malam.

"Sini coba mama lihat!" seru ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. "Nah kan kamu terlihat sangat cantik dengan gaun ini. Ini rancangan desainer Maura Sultan lho." Aku sedikit tersentak mendengara nama desainer idolaku disebut ibu. "Mama dekat dengannya beberapa bulan ini. Nanti dia juga akan hadir di pesta."

Ibuku lalu terdiam sambil tersenyum dan mengalihkan kembali pandangannya ke jalanan malam Jakarta. Aku baru sadar salah satu tangannya menepuk-nepuk tanganku yang terkatup di pangkuanku. Sejenak aku ingin memeluk ibuku erat menunjukkan bahwa aku merindukannya.

"Kamu lebih cantik dari Ranggi saat dia pertama kali datang ke pesta," kenang ibu. Beliau menoleh menatapku. Matanya terlihat berkilau ditempa temaram lampu jalanan di luar sana. "Ini hari pertamamu mengenal dunia kita. Sebuah jalan pintas meraih impian."

Aku hanya mencibir dalam senyum tipuku. bukan ma, ini hari di mana aku harus memilih di usia dewasaku. Tetap dengan keyakinanku atau jatuh pada tipu daya bayangan Bagya lagi.

----------------------------------------------

NB: selanjutnya tunggu di novelnya yaaaa... secara rutin bakalan saya update di blog deh perkembangan novel ini okeee!!


wait for it!!!

okaay haloooo apakabar!!! SELAMAT IDUL FITRI 1431 H. Mohon maaf lahir dan batin fellas!! btw, gue kan lagi ada project yang disebut MENATA KEHIDUPAN (apasiiih nin) ya oke serius. gue sedang berusaha menata kehidupan gue dengan baik. Menemukan apa yang gue inginkan. Menargetkan apa yang gue butuhkan dan harus gue dapatkan dalam kurun waktu tertentu. Menentukan jangka waktu dan kedaluwarsa sebuah pekerjaan. Dan terus mewujudkan impian. dan semua itu butuh modal BESAR yang disebut I3 (IDE, INSPIRASI, & IKHTIAR). oke abis ini gue mau nulisin salah satu dari salah satu rangkaian proyek gue.

Karena cita-cita gue adalah menjadi penulis, maka dari itu hal yang paling tepat dilakukan adalah menulis. oke!!! sebenarnya sebelum ini gue pernah buat 2 NOVEL (printed) berjudul JUST A MOMENT sama THE SECRET TIME OF LOVE (yg penuh dengan labilitas anak ABG SMP--tapi hitungan kata temen2 gue sih bagus) cuma karena gue orangnya merasa mmmhh kayaknya masih kurang jadi gue selalu berusaha menciptakan yang baru dan yang baru. Ada DI BALIK LANGIT SENJA, CHASING THE LOVE, satu lagi gue lupa karena ga di print sekarang yang gue tahu file-filenya ilang ke format pas komputer gue di benerin :'( :'( aaaaaa MEWEK!!! jadi gue berharap novela yang selama ini gue tulis di blog ini bisa selesai, karena akan gue sambung dengan novela lagi yang akan dibukukan dan gue kirim ke penerbit (hope it will be publish. amen).

well, next post is PROLOG & BAB I dari novel yang lagi gue tulis berjudul LAMPU LATAR. gue ga tahu kenapa sebenernya agak susah bagi gue untuk menelurkan sesuatu yang bermakna dan sarat nilai kehidupan. Tapi gue berharap kali ini gue bisa menyajikan 'sesuatu'. Jadi ketika lo membuka lembaran pertama buku yang (bismillah) suatu hari akan lo liat di rak buku toko buku ini, lo akan bertanya "WAU ADA APA?" dan ketika lo tutup bukunya yang akan lo jawab adalah "THANKS, GUE UDAH NEMU JAWABANNYA".

beda dengan novel-novel yang gue buat kemarin. Novel kali ini bahasanya ga berat. Memang mengangkat kehidupan sosialita yang dimiliki seorang tokoh bernama Sharmaleen Gawitri Bagya. Seorang gadis yang penuh dengan impian dan pertanyaan dalam hidupnya. Yang akan diisi kisah tentang wanita, cinta, kesetiaan, dan keyakinan. Karena hal tersebut adalah mahkota wanita....

nb: salah satu kehebatan gue adalah membuat pembaca jatuh cinta pada tokoh yang gue buat. Seperti temen2 gue jatuh cinta dengan tokoh Erkeyn (Just a Moment-2008). Atau yang paling ekstrim sama tokoh James (The Secret Time of Love-2009). Oke semoga kali ini pembaca-pembaca ku tersayang bisa jatuh cinta sama 2 TOKOH sekaligus Paras Sultan dan Irazandi Bagas.

#Secangkir Teh

CHAPTER V

Hari-hariku cukup fluktuatif belakangan ini. Aku mulai lebih sering pulang cepat ke rumah. Dan kakakku mulai sering marah-marah padaku sambil berteriak, "Konsisten kerja nggak sih??" Ya dan aku hanya bisa menggeleng dan berlalu ke kamar. Kakak bisa saja memecatku. Tapi toh akhirnya memasuki bulan kelima aku bilang padanya aku hanya akan duduk di balik meja bar minuman bersama Lila sembari membantunya dan bersedia tidak diupahi yang penting aku bisa mendengar pembicaraan dari meja yang bertuliskan RECEIVED tersebut.

Aku mengamati frekuensi pertemuan Kara. Sepertinya dia telah menciptakan padaku sebuah bentuk analisa baru. Analisa psikologi. Membaca bagaimana sifat dan pola pikir seseorang itu sangat menarik. Terutama jika sasarannya adalah seseorang seperti Kara. Emosinya naik turun. Dan serangan yang dilakukannya tidak mudah tertebak. Aku mulai berpikir bahwa dia memiliki kepribadian ganda. Tidak hanya dua. Tapi berganda-ganda.

Tapi aku melihat Kara seperti sebuah pensil. Dia diraut dan perlahan dia pun menjadi runcing. Seperti gadis yang selalu kuat dan selalu teguh pendiriannya. Dan sekali pensil itu dipatahkan dia akan memilih untuk tumpul selamanya. Dan anehnya, tak ada satupun yang berusaha merautnya.

Aku menyadari hal tersebut belakangan ini. Beberapa orang silih berganti duduk di hadapannya. Wajahnya lesu dengan bibir pucat pasi. Menatap ke arah manusia yang asik berbicara. Menceritakan pengalaman mereka. Membahas apa yang dosen mereka katakan. Menawarkan produk. Dan terkadang berusaha membuat Kara tersenyum dan tertawa. Tapi gadis itu pasti akan selalu membalas dengan wajah muram dan anggukan atau gelengan, dan jika benar-benar dia ingin menghargai usaha seseorang dia hanya akan tersenyum simpul.

Entah hari ini akan kembali dengan rupa seperti apa. Aku melihat gulungan asap di luar sana. Sebuah taksi berhenti tepat di depan kafe. Dan Kara keluar dari dalamnya. Lebih lesu dari biasanya. Dia akan masuk seorang diri dari pintu itu tadinya, sampai tiba-tiba seorang ibu-ibu tua membantunya masuk. Ibu-ibu itu tersenyum dan aku melihat sepertinya ada sesuatu yang terjadi dari ajang tatap menatap antara Kara dengan ibu tersebut. Karena akhirnya dia memeluk ibu tersebut ketika pintu tertutup di belakangnya.

Mereka berjalan berangkul-angkulan. Dan untuk pertama kalinya aku melihat Kara menangis sambil tersenyum dengan air mata yang melembab pada pipinya yang perlahan menirus.

"Apakabar cantikku?" tanya ibu tersebut. Ya aku memperkirakan wanita itu berusia sekitar enam puluhan. Seharusnya aku menyebutnya nenek bukan ibu.

"Aku baik-baik saja. Nenek apakabar? Sejak kapan tiba di Jakarta?" tanya Kara dengan wajah sumringah.

Nenek? Dari pihak siapa?

--------------------------------
bersambung...

how to spread love?

so HOW TO SPREAD LOVE?

just smile and said HAVE A GOOD DAY, FRIENDS!!!




a little thought that I've got from life...
because when someone had a bad day, somewhere in this world was having a worse day..
why we don't spread love by wishing someone's life happy?

martedì 7 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter IV)
-------------------------------
Kara menangis dan Galih membiarkannya. Mereka lama terdiam dalam bisu seperti itu. Lila berdiri di sisiku. Menyenggol tubuhku yang terdiam terpaku. "Sssst...," desisku pada Lila.

"Sekarang apa lagi yang tidak kau mengerti?" tanya Galih dengan suaranya yang dalam. Dia seperti kehilangan pesonanya.

"Aku tidak mengerti mengapa harus kau sembunyikan semua itu? Jika kamu tidak menyembunyikan, mungkin saja wanita yang ada di Auckland sana itu aku. Mungkin saja hidupku jauh lebih bahagia dari saat ini. Mungkin saja saat ini aku lebih leluasa menceritakan segala hal. Aku kesepian... Aku butuh seseorang yang mencintaiku," tuntut Kara.

"Aku harus menyembunyikannya, Kara. Di saat ketidakyakinanku datang aku harus menyembunyikannya. Aku harus berpikir dua kali."

"Dan kamu meragu di saat pernikahanmu dengan Alin. Dan mengapa tidak kau sembunyikan?"

Galih menggeleng. "Pernah kita bicara mengenai pilihan? Tidak baiklah. Tapi kita tahu mengenai pilihan. Kita tahu mengenai alasan sebuah pilihan. Dan kita tahu akan sebuah keputusan. Dan aku telah memilih untuk hidup bersama Alin dengan alasan aku mencintainya, aku ingin menjadi suaminya, menjadi ayah dari anak-anaknya, menjadi sumber kebahagiaannya, menjadi inspirasi hidupnya, menjadi jodohnya di dunia yang Tuhan berikan."

"Klise," umpat Kara.

"Ini waktunya kamu mengerti, Kara... Aku kembali demi kamu!"

"Demi memohon maaf ya... Aku memaafkan."

Galih menarik kedua tangan Kara. Menahannya untuk menutup wajahnya sekali lagi. "Oke ini tidak klise. Aku memintamu membuka hatimu. Aku memintamu mengerti. Aku memintamu untuk berhenti mencintaiku. Jahatkah aku? Iya aku jahat. Tapi ada satu sisi yang harus kamu mengerti dari semua ini... Kamu punya pilihan untuk keluar dari keterpurukanmu. Tidak hanya kamu satu-satunya manusia yang paling menderita di muka bumi ini. Ada banyak. Termasuk Alin. Kamu tidak tahu apa-apa soal Alin. Dan kamu tidak berhak meminta aku menceraikannya meskipun kamu sahabatku, adikku, meskipun kamu orang yang pernah aku cintai."

Kara menahan tangisnya. Dia menggeleng.

Galih mendengus. "Kamu kuat Kara. Aku tahu. Mudah bagi lelaki manapun jatuh cinta padamu, dik. Kamu hanya perlu membuka diri. Aku tahu kamu bisa memilih. Tidak ada yang pernah bermaksud menghancurkan hatimu. Karena Tuhan tidak menciptakan satu manusia pun untuk merasa sedih di jalan yang diberikan-Nya. Itu namanya tidak bersyukur."

Kara menarik kedua tangannya dan Galih membiarkannya. Gadis itu bersandar pada kursinya. Menatap Galih entah dengan tatapan apa. Dia kehilangan cahayanya. Cahaya yang pertama kali aku lihat dari dirinya pada kunjungan pertamanya kemari. Kemampuannya mematahkan hati. Dan kini hatinya dipatahkan seseorang.

Mereka terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Galih berkata, "Kamu bohong mengatakan tidak ingin hidup tanpa cinta dan tidak ingin menjadi milik siapapun. Yang perlu kamu lakukan hanya tidak mengulang kesalahan orang tuamu. Kamu bukan siapapun. Kamu ya kamu."

"Siapa yang membayarmu untuk mengatakan semua omong kosong itu padaku?"

"Tidak ada."

"Jadi apa tujuanmu?"

"Sudah kukatakan sejak awal aku ingin minta maaf padamu, Kara..."

Kara menarik nafas panjang menggigit bibirnya. Dia terdiam dan memejamkan matanya lalu perlahan mengangguk perlahan. "Kau pulang besok, Galih?" Galih mengangguk. "Aku... titip salam untuk Alin."

"Akan aku sampaikan."

"Dan aku... aku titip salam pada Galih yang kukenal bertahun-tahun yang lalu. Katakan padanya bahwa aku masih mencintainya teramat sangat."

Galih menyeruput espressonya dalam keheningan. Dia menatap Kara sekali lagi. Dia tersenyum meraih kedua tangan Kara dan mengecup keduanya pelan. "Akan aku sampaikan..."

Dia berdiri sementara Kara masih tersandar tak berdaya. "Maafkan aku sekali lagi... Tapi aku harus kembali."

Galih berbalik ketika Kara tidak menanggapinya sama sekali.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Kara. "Jika di dunia jodohmu adalah Alin. Apa di akhirat nanti aku yang menjadi jodohmu? Bisakah kamu tidak menyembunyikannya? Bisakah kamu jujur dan memilih aku?"

Galih terdiam. Dia tidak menoleh, dia hanya bergeming di tempatnya berdiri beberapa saat. Dia hanya menoleh sedikit tanpa isyarat dan berjalan terus tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan kata perpisahan. Dan Kara tidak menangis di tempatnya lagi. Dia hanya terdiam dan menghabiskan tehnya yang sudah mendingin.

Kali ini aku melihatnya kehilangan cinta sejatinya. Yang mungkin tidak akan pernah didapatkannya. Tapi seharusnya dia sadar Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya sesendiri kemurungan senja. Mungkin saja lain waktu dia kembali bersama semangat baru. Karena waktu terus berputar. Setiap orang punya pilihan. Dan manusia mana pun berhak memilih untuk keluar dari keterpurukannya.

Pasti akan kembali satu hari nanti, di mana jodohmu adalah dia.

-------------------------------
bersambung...

From Bandung With Love


FROM BANDUNG WITH LOVE

Vega, mahasiswi yang selain bekerja sebagai penyiar radio dengan nama samaran Vey, ia juga bekerja sebagai copywriter. Sebagai penyiar radio ia memakai nama Vey, mempunyai acara khusus yang membahas masalah relationship berjudul “From Bandung With Love”

Cerita dimulai saat Vega memutuskan untuk membahas masalah perselingkuhan dan kesetiaan dalam siaranya minggu mendatang. Dia mulai dengan teori bahwa 10 dari 11 laki-laki tidak setia. Teori ini diperkuat pula oleh Wulan, sahabat Vega yang baru saja mendapati pacarnya selingkuh

Usaha Vega pun dibawa ke kantor advertising yang mempekerjakan dia sebagai copywriter. Dia mengamati lalu memilih Ryan, creative director yang terkenal playboy. Vega memanfaatkan waktu seminggu menjelang siaran untuk mendekati Ryan, untuk mencari tahu dari sisi lelaki yang tidak setia

Tapi apaun bisa terjadi dalam 6 hari…Vega jatuh cinta beneran sama Ryan karena Ryan memang tahu benar how to treat a lady, sebuah karakter yang berbeda dengan Dion, pacar Vega yang sebenarnya. Hingga di satu titik Vega menyadari bahwa dialah yang tidak setia. Tidak setia terhadap tujuan, terhadap Dion, Wulan dan dirinya sendiri

-----------------------------------------------------------------------

ada satu pertanyaan mengambang setelah gue nonton film ini di siang hari liburan gue (haha)...

apa yang tidak kamu temukan di aku yang dapat kamu temukan di dia?

setelah film ini selesai gue menutup drama dengan berteriak di twitter SELINGKUH ITU JAHAAAATTT. dan semua orang ngira bahwa gue baru diselingkuhin. eh sorry, gue abis nonton film. satu hal yang gue sadari adalah semua hal bisa terjadi. tapi semua itu kembali kepada satu hal yang dinamakan PILIHAN.

takdir orang memang sudah disuratkan. namun apa jadinya toh kita juga yang menentukan dan kita juga yang menjalani dengan cara kita sendiri. coba tokoh Vega ini ga memilih untuk membahas topik perselingkuhan? coba tokoh Vega ini tidak memilih berbohong bahwa dia memang sudah punya pacar? coba tokoh Vega ini tidak memilih untuk bersikap naif? tentu tidak akan ada sad ending. yes, i thought that the end was so sad.

gue lagi tertarik dengan topik perselingkuhan. or whatever it said... heeemmm but, gue ga akan pernah mencoba meneliti. gue ga akan pernah mencoba terjun. karena terlalu berbahaya untuk terjun. satu hal lagi, kita bisa saja terjebak sebelum menemukan jawabannya.

gue bisa memilih...

memilih untuk tetap berada pada jalur yang sama. bahwa gue yakin perselingkuhan itu buruk. nonton film Indonesia satu ini (ya ini film Indonesia yang sebenernya biasa aja) bikin gue mikir dua kali. apa yang gue tidak bisa dapatkan dari cowok gue? seharusnya gue mendapatkan semuanya? ya... kenyataannya ada beberapa hal. tapi buat apa gue cari dari orang lain ketika gue lebih membutuhkan yang ada di dalam dirinya...


karena apa?

karena sejak awal SAYA TELAH MEMILIH DIA...

bila petang lupa pulang

pukul 5 sore
senja baru saja menjingga
entah mengapa aku suka
melihat langit perlahan menenang
menebar nuansa rindu rumah

namun bagaimana bila petang lupa pulang?

harusnya petang ingat rumah
tempat kekasihnya menyediakan sisi pada ranjangnya yang kosong
tempat terhangat yang mereka bangun bersama
dari awan-awan yang menggulung di langit
rumah mereka terlalu indah
kahyangan tingkat kedua
karena kekasih petang adalah warna lembayung

jika ingat petang aku ingat kekasihku
namun bagaimana bila petang lupa pulang?

petang itu cantik
siapapun bisa menyukainya
jatuh cinta satu kali layang pesona
namun petang bisa saja tertipu
dia tinggalkan kekasihnya
menipu dirinya menipu kekasihnya
berselingkuh dengan bintang

petang benar lupa pulang

aku menyendiri
pantas saja warna langit mendung
petang tidak datang
hanya lembayung yang perlahan membiru
dan perlahan gerimisnya turun membentuk sendu
dan terkadang aku menangis bersama hujan

petang pulanglah
apa yang kau dapat di tempat lain yang tidak kau dapat di rumahmu
tahukah dingin rasanya di sini ketika mendung tiba
karena rumahmu mendingin
kekasihmu sendiri
dan kamu menghilang bersama hangatmu

lunedì 6 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan chapter IV)
--------------------------------
Aku berpura-pura menyibukkan diriku dengan mengelap meja bar, ketika kakakku memperhatikanku sembari geleng-geleng kepala. Dia sudah mulai tahu kebiasaanku datang untuk menguping pembicaraan dari meja salah satu pelanggannya. Ya tapi tetap telingaku terpasang untuk mendengarkan.

"Apa?" ulang Kara sekali lagi. Dia mulai terlihat putus asa memandang Galih.

Galih menarik nafas panjang. Membuangnya perlahan dan mencari posisi ternyaman di kursinya. "Aku bersikeras untuk mengatakan ini padamu sejak dahulu, Kara."

"Apa? Kenapa tidak langsung saja pada intinya?"

"Maaf," sambar Galih singkat. Mereka terdiam saling menatap. "Aku ingin mengucapkan maaf."

"..."

"A-aku ingin minta maaf padamu sejak dahulu," mulai Galih kali ini aku melihatnya sedikit malu. Dia menundukkan kepala dan tidak berani memandang Kara. "Sejak aku menemukan Alin aku ingin minta maaf padamu atas kebodohanku dan atas kesalahanku padamu."

"Aku tidak mengerti."

"Boleh aku bercerita sedikit? Entah mungkin ini akan membuat kamu muak, tetapi ini akan membuat kamu mengerti." Dia berhenti sejenak memandang Kara, mencoba menebak apa yang dipikirkan gadis itu lewat matanya. Kemudian dia menunduk lagi dan mulai bercerita.

"Aku membohongi diriku sendiri, Kara. Aku menyembunyikan ini bertahun-tahun. Aku mempunyai seorang teman kecil yang usia lebih muda dariku. Dia tetanggaku, teman bermainku. Seorang gadis kecil yang suka naik sepeda merah setiap sore. Yang ketika ulang tahunku ke-13 menghadiahiku sepatu. Yang pernah jatuh dari pohon jambu saat bersikeras menunjukkan bahwa dia bisa mengambil sebuah layang-layang. Dan seseorang yang pernah nyaris membatalkan pernikahanku dengan Alin dengan masuk rumah sakit gara-gara pingsan sesaat sebelum ijab kabul."

Kara mematung di tempatnya. Garis-garis wajahnya mengeras.

"Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu, Kara. Aku mencintaimu sejak aku berusia tiga belas tahun dan kau sepuluh tahun. Sejak kamu menghadiahkanku sepatu, sejak kau jatuh dari pohon jambu hingga saat aku mengira bahwa aku salah mencintai Alin. Ya mungkin saja aku salah aku membodohi diriku sendiri. Bertahun-tahun aku menikah dengan Alin. Aku merasa... sangat-sangat tidak tenang dan berdosa."

Aku menangkap gerak-gerik dari tubuh Kara. Tangannya bergerak menggapai jemari Galih yang mengepal. Dia mengelusnya perlahan.

"Aku berpikir untuk menyembunyikan semuanya. Semuanya dalam-dalam, rapat-rapat karena aku tidak berani. Dan aku bertemu Alin. Seseorang yang menaruh lebih banyak perhatian untukku di saat-saat aku memberi banyak perhatian padamu. Seseorang yang dengan lapang dada mendukungku untuk menyemangatimu saat orang tuamu bercerai. Ya dan perlahan aku mencintainya. Tapi seakan-akan nama Kara tidak pernah hilang. Ya dan singkat... aku tetap mencintaimu di sini. Dan aku masih saja terus berkilah.

"Aku kembali kali ini, Kara. Aku ingin minta maaf. Aku harap setelah hari ini semua selesai. Aku menjadi lebih tenang dan kau pun menjadi tenang. Aku minta maaf telah membohongimu... dan..."

"Berikan aku ruang aku mohon, Galih. Berikan aku satu kesempatan. Berikan aku..."

"Aku pria beristri dan memiliki seorang anak."

"Aku tidak peduli!!!" isak Kara, kini tangannya menggenggam Galih erat.

"Tapi aku peduli! Aku peduli pada Alin! Aku peduli pada anakku. Aku peduli pada bayi yang dikandung Alin. Dan aku mencintai mereka semua."

"Dan apa kau mencintaiku?"

Mereka terdiam. Terengah-engah oleh nafas mereka sendiri yang sesak bercampur perasaan.

"Jangan membuat semua ini terasa seperti sinetron, Kara," ujar Galih. "Aku mengajarkanmu untuk realistiskan? Dan aku mengajarimu untuk dapat memilih. Maka aku telah memilih. Aku telah menikah dengan Alin. Dan atas dasar apapun, aku adalah miliknya. Aku tidak berhak mencintai wanita lain. Selain ibuku dan dia." Galih berhenti sejenak. "Tidak terkecuali seseorang yang pernah aku cintai juga."

Kara terguncang. Tapi seperti ingin tabah dan menyembunyikan perasaan sedihnya, dia tertawa. Dia memaksa dirinya tertawa. Melepas genggamannya dan menutupi wajahnya. Masih dengan suara tawanya yang terdengar dipaksakan dan perlahan berubah menjadi tangisan.

"Ini intinya... aku meminta maaf," ulang Galih pasrah.
--------------------------
bersambung...




domenica 5 settembre 2010

wanita dalam sangkar jaman

i always dreaming about me and my self. me and a soul that called WOMAN.

wanita dalam sangkar jaman
mereka bukannya terpuruk
mereka hanya ingin berkembang dengan sendirinya
di dalam kungkungan jaman
bukan kungkungan nurani tirani
mereka sama ingin bebasnya


but today when I woke up in the morning, i was thinking that...
I WANNA BE A MODERN WOMAN
A FULL TIME WIFE
A FIRST TIME MOTHER
A SECOND TIME WRITER...


yeaa it might be just a daydream now
but someday it would be a DAILY ACTIVITY

how about you?

wanita dalam sangkar jaman
tergantung jaman manakah yang kau jadikan sangkar

venerdì 3 settembre 2010

love needs money

haha judul ini post ga banget ya? ah jangan gitu... ini bukan lirik lagu CinLau yang tiap hari diputer di KFC. Post kali ini gue mau ngomongin soal DUIT. karena prinsip gue semua hal itu "Do It With DUIT". ya seenggaknya buat memenuhi kebutuhan kita butuh duit. Biarpun banyak hal yang ga bisa dibeli dengan duit. (sejujurnya gue emang lagi gada kerjaan di sabtu pagi ini jadi ya ini gue iseng bikin beginian haha)

ngaku deh lo butuh tips untuk menangani masalah keuangan kan? NAH GUE, SEBAGAI SEORANG FINANCIAL ADVISOR yang baik (sepiknyeee) akan memberikan lo tips. Mungkin kali ini dari segi gaya berpacaran dulu ya.

mari kita namakan metode penghematan ini dengan istilah:

"PARKER"
(Pacaran Kere)


jangan terburu-buru menjudge bahwa hal ini sangat ga banget, jangan mikir lo bakal gue kasih tips buat malam mingguan di Jembatan Cinta, di deket waduk, atau di Jembatan Penyebrangan Kampung Melayu. gaaa!!! Yang gue maksud kere di sini adalah lo akan meminimumkan pengeluaran lo dan berusaha memfleksibelkan pendapatan lo untuk membiayai segala bidang. (esesesese sepiknyeee) tapi ga salah kan buat dicoba.

masalah pertama orang pacaran adalah KOMUNIKASI. coba kaitkan komunikasi dengan isi dompet? Ya tepat! PULSA. Karena ketika kita pacaran lo bakalan lebih sering SMS sekedar nanya, "kamu lagi apa?" atau "kangeeennn nih" atau bahkan "yang bales dong sms akuuu" dan itu membutuhkan pulsa yang teramat banyak. apalagi kalau Anda dengan pasangan Anda adalah tipikal erat yang tak bisa terpisahkan dan tak mampu terpisah jarak ruang dan waktu, jadi harus terus-terusan berhubungan nyerocos. belum lagi setiap malem lo bakal OTP-an (teleponan) sampai kuping merah. Dan hebatnya untuk menghemat itu semua lo rela-relaan bangun jam 12 malem demi tarif telepon murah. Kalo gue jadi lo mending gue sholat tahajud aja jam segitu. oke sip! tips dari gue adalah:
  • cara tradisional SURAT-SURATAN
  • cara ribet lo cari provider yang menyediakan segala kemurahan dan kemudahan dalam telepon dan SMS setiap saat yang membuat lo ga harus beli pulsa tiap hari, banyak kok provider yang promonya kayak gitu. tapi resikonya biasanya lo bakal lebih sering gonta-ganti nomor hape. BT! (curcol: dulu gue sama pacar gue bisa keluar 7rb bahkan ampe 14rb per hari pun pernah)
  • cara modern dengan modal kurang lebih 2jt BELI SMARTPHONE yang punya aplikasi Messenger dan langganan biaya yang bisa diaktifin ketika lo beli pulsa. Ya tahulah yang gue maksud. Jadi kalo lo aktif internetan juga, pulsa lo ga bakalan abis buat itu semua. lo sama pacar lo bisa messenger-an sesuka jiwa yang biayanya udah ditanggung sama langganan dan ga perlu abisin pulsa SMS. kalau emang lo mampu lo beli lagi pulsa sekitar 10rb kalau emang ngotot masih kepengen telpon2an. (curcol: gue ga pernah nambah pulsa 10rb lagi, langganan paket mingguan dengan provider gue tercinta yang udah gue pake dari jaman SD cukup mengeluarkan kocek 26rb-33rb gue mampu bertahan selama seminggu lebih. dulu sih 44rb per minggu)
masalah kedua orang pacaran adalah DATING atau kencan. gue tahu banyak banget yang mendambakan dinner romantis ditemani lilin kecil yang exclusive cuma lo berdua aja dan begitu lo ngebayanginnya aduuuuhhh it so expensive. who said??? belum lagi mikirin lo mau jalan-jalan ngapain aja. entah nonton, belanja atau segala-galanya. yaaa yaa yaa... lancarkan strategi PARKER kawan!
  • cara tradisional ngapelin pacar ke rumahnya aja, menang ongkos jalan sama lo beli martabak atau sate buat nyogok keluarganya. kalau punya motor atau mobil mungkin akan sangat lebih hemat lagi.
  • paket hemat, ajak pacar nonton bioskop ga usah ngarep yang mahal-mahal dan gaya kayak di XXI atau blitz (meskipun sekali-kali perlu) cari bioskop yang harganya masih 25rb paling mahal pas weekend pun masih bisa kan. pulangnya makan deh di McD atau restoran pinggir jalan. saat-saat kayak gitu justru saat-saat yang paling romantis.
  • pacaran murah keliling kota. bisa dipilih Kota Jakarta dengan bus Transjakartanya, Kota Bogor dengan kenikmatan naik keretanya, Kota Bandung dan keinginan membara lo untuk wisata kuliner enak dan murah, Kota Yogyakarta dll
  • catatan : PENTING UNTUK KITA MEMBUDGETKAN! (curcol: kalau gue sama Gery biasanya harus mampu dengan duit maksimal 100rb untuk satu kali sebulan jalan)
masalah ketiga dalam suatu hubungan pacaran adalah MEREBUT HATI ORANG TUA! apa hubungannya sama keuangan? selain lo nyogok dengan martabak atau sate, atau bersikap sopan, atau menjemput dan memulangkan kembali anak perempuan mereka ke depan rumahnya, atau masakin makanan, atau bantuin ibunya beres-beres rumah nih...
  • tunjukkan kalo lo memang punya skill untuk menjadi manusia yang PRODUKTIF. dengan bakat yang lo punya lo bisa menambah penghasilan lo dengan berbisnis atau paling banter lo punya kerjaan tetap. reputasi lo di dunia kerja dapat membuat orang tua pasangan lo ngerasa bangga sendiri. atau mungkin lo bisa membangun sebuah bisnis bersama kekasih lo. tapi ingat ya... hubungan bisnis dengan hubungan pacaran itu berbeda. kalian seperti membangun sebuah rumah tangga baru lagi. yang harus kalian urus ada macem-macem. perlu perencanaan, target jangka panjang dan jangka pendek, tiap hari bakalan sibuk dengan mikirin strategi bisnis, modal besar yang berkelanjutan, dll.
Tapi sebenarnya di balik itu semua kawan. Yang paling penting bagi kita adalah kita harus selalu memperhatikan INCOME YANG KITA DAPAT. Perencanaan keuangan yang matang akan memudahkan elo untuk mengatur keuangan lo. Pengeluarannya harus beneficial (memberikan keuntungan tersendiri). Ga merugikan! Percuma kan lo keluar duit ampe beratus-ratus ribu demi nyenengin pacar lo yang ternyata cuma asik sendiri milih-milih baju di Mall dan lo bengong.

Memang ada istilah "uangku uangmu juga" atau "uang suami uang istri juga, tapi uang istri belum tentu uang suami". Ada baiknya kalau kita punya perencanaan keuangan bersama. kayak temen gue si Devi sama Naufal mereka kalau lagi jalan bayarnya ganti-gantian dan mereka punya tabungan bersama. Atau kayak gue, kalau mampu traktiran, kalau ga mampu ya sendiri-sendiri.

Segala hal itu bisa diatur kok. Gue cuma ngasih saran. Aplikasinya bisa kalian sendiri yang menginovasikannya. Yaaaa selesai deh keisengan saya hehe... Semoga dapat menjadi sesuatu yang berguna ya...!

salam tempel!!

giovedì 2 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter IV)
--------------------------
Kara terguncang di tempatnya sendiri. Dia memilih menunduk dengan bahu yang gemetar menahan tangisnya yang akan meledak. Sedangkan Galih duduk lebih tegak, sedikit terkejut. Matanya menatap dengan gelisah pada gadis yang terguncang di depannya tersebut.

"Aku tidak bisa makan ketika kamu mengabari sudah ada di Jakarta. Sudah lebih dari lima tahun kita tidak bertemu. Sejak kamu menikah dan memutuskan untuk pindah ke Auckland bersamanya. Dipikiranku terlalu banyak kenangan. Kenangan yang selama ini membuat aku ingin jauh," jelas Kara. "Kamu mungkin menganggapku adik. Tapi hingga saat ini aku masih menganggapmu lebih."

Galih masih terdiam di tempatnya. Aku melihat ponselnya bergetar di meja, tetapi dia tetap fokus menatap Kara. Mungkinkah ini alter ego dari gadis ini? Sudah terlalu banyak alter ego yang aku lihat darinya.

"Aku memilih untuk tidak makan. Benar. Aku memilih untuk jatuh saja pingsan di hadapanmu. Atau saat aku sedang berjalan jauh ke sini. Mungkin saat itu orang-orang rumah sakit akan menghubungi ayahku, dan aku sudah berpesan pada ayahku agar menghubungimu. Semua sudah dirancang. Yaaaaahhh dan ternyata ketika kamu ada di sini aku tidak pingsan sama sekali. Aku hanya berusaha untuk terlihat sakit, seperti dulu. Ketika pernikahan kalian nyaris batal karena aku," lanjut Kara.

Aku nyaris tidak bisa berpikir. Aku pernah mendengar bahwa Kara memilih untuk tidak mencintai. Menjauhi cinta. Bahkan seperti tidak ingin menjadi milik lelaki manapun. Namun hari ini aku melihat dia seperti memohon belas kasihan dan cinta dari seorang laki-laki yang telah beristri.

"Aku tahu meminta seseorang yang telah beristri untuk mencintai diriku itu salah. Aku tahu menjadi penghancur rumah tangga orang itu juga salah. Aku tahu aku tahu bahkan aku tahu rasa sakitnya sebuah keluarga yang bercerai. Tapi aku bahkan tidak dapat menyangkal perasaanku sendiri. Di sini rasanya sakit, Galih." Kali ini air matanya benar-benar jatuh, tapi dia belum berani menengadah.

"Ka... Kara..."

"Saat kau bertemu Alin semua waktumu habis buat dia. Aku cemburu hingga ingin membunuhnya. Dia menganggapku seperti seorang anak perempuan manis yang tinggal di rumah sebelah. Ya, aku memang hanya tetanggamu. Tapi lebih dari itu aku mencintaimu. Dan tahukah ketika aku memilih untuk hidup tanpa cinta karena sakit hati ini? Aku nyaris mati rasa dan rasanya menyiksa."

"Realistis, Kara..."

"Apa?!!!" potong Kara. "Aku terlalu realistis, Galih. Aku seperti gadis yang diberi harapan dan diberi sesuatu yang berharga, lalu diinjak, dan dibuang, dihempaskan lalu dilupakan. Dan pikirku semua lelaki sama, kecuali ayahku. Tapi aku tetap menunggumu, Galih. Menunggumu seakan kau akan menceraikan Alin, seakan suatu hari kamu akan kembali menjemputku, atau sekedar menjadikanku selir hatimu. Dan ketika kamu pulang ke Jakarta aku seperti ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu."

"Tapi aku sadar itu semua tidak akan pernah terjadi...," dengus Kara. "Aku tidak ingin ada satupun rumah tangga yang kukenal lebur seperti rumah tangga ayah dan ibuku."

Galih mendekatkan tubuhnya ke arah Kara yang kini menangis dengan tangan menutupi wajahnya yang menunduk. Perlahan tangannya mengapai helaian rambut panjang Kara. Mengelusnya pelan di bagian atas kepalanya.

"Setiap orang berkata untuk maju, mengapa tidak maju?" tanya Galih.

Kara hanya menangis.

"Aku tahu itu pilihanmu. Tapi menunggu aku bukanlah pilihan yang tepat. Meninggalkan cinta juga bukan pilihan yang tepat. Satu-satunya yang membuat dirimu terpuruk sampai saat ini adalah karena kamu memilih untuk membiarkan cahayamu redup. Digerogoti rasa sakitmu sendiri dan alasanmu untuk tetap berada di garis yang sama bertahun-tahun.

"Mungkin setelah pertemuan kita hari ini kamu pun akan tetap seperti itu. Setiap orang ditakdirkan memiliki pasangannya masing-masing. Alin seperti permata bagiku, dia segalanya bagiku, dia ibu dari anak-anakku, dia pilihan Tuhan bagiku...aku tahu itu. Aku mencintainya dari dulu aku tahu itu. Dan aku tahu setiap hal kecil juga yang kau lakukan untukku Kara. Kamu seperti bintang kecil yang menghiburku di setiap malam aku mengalami kesedihan, sumber semangatku ketika aku merasa redup, dan temanku adik kecilku."

Tahu apa? Aku merasa itu puisi yang memang sudah dibuatnya sejak dulu. Namun ketika mendengarnya, rasanya dia memang menggambarkan perasaan yang sebenarnya dengan perumpamaan yang tepat.

"Kau tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu, Kara? Aku ingin bicara... Dan sedari tadi kita belum memulai pembicaraan inti kita. Bisakah aku mulai sekarang?"

Kara membuka wajahnya. Dia mengangguk. "Jadi apa?"

---------------------------------
bersambung...

rekam malam

kan kurekam malamku
sekali lagi pada rasa rindu
bermuara pada pelukmu
biarkan bintang menjadi mata lensa di balik selubung awan mendung
karena cukup angin yang dengar setiap bisik cintamu
lagi bila ada satu sisi di ranjangmu,
beri aku ruang untuk ku isi
kan kuhangatkan dinginmu

rekam malam
semua tersimpan rapat pada selaput alam
berkawan bayang gelap
berkasih harummu yang membekas dan kusesap

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter IV)

------------------------------
Pria itu melempar senyumnya yang ternyata memiliki sihir. Wajahnya jauh lebih tampan dengan senyum tersebut. Dan entah mengapa di saat aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pria itu, Kara memilih untuk diam saja dan tetap memandang cangkirnya.

"Baik," jawab Kara. "Bang Galih mau pesan minum apa? Nanti saya pesankan..."

"Biar saya sendiri saja yang pesan. Kamu di sini saja."

Dan pria itu datang ke meja barku. Dia mengeluarkan suaranya yang jauh lebih merdu dari yang kudengar dari kejauhan. Matanya coklat pekat. Ini pertama kalinya aku merasa deg-degan berdiri di balik meja bar. Dia memesan segelas espresso. Aku menyajikan espresso dengan kikuk. Sesekali aku mencuri pandang ke arah meja Kara. Dia masih duduk sendiri. Sementara lawan bicaranya menunggu di kasir untuk membayar.

Wajah gadis itu sendu. Dia lebih pucat dari saat dia masuk ke kafe ini. Dia sempat terpaku sesaat memandang tubuh pria yang dipanggilnya Bang Galih. Dan kembali terpaku menatap cangkirnya ketika aku tiba menaruh espresso di mejanya. Aku berbalik dan kembali ke balik meja bar. Pria itu kembali duduk di kursinya menyeruput espresso.

"Bagaimana kabar Mbak Alin?" tanya Kara sembari dia memainkan jemarinya pada tubir cangkir.

"Kondisinya sangat baik. Alin sedang mengandung anak kedua kami. Sudah enam bulan. Itu mengapa aku tidak membawanya ke Jakarta kali ini lagipula aku hanya pulang selama tiga hari. Besok aku pulang," papar Galih.

"Oh... Sudah sebesar apa Gamal sekarang?"

"Dia sudah tiga tahun. Kamu harus lihat betapa lincahnya dia sekarang, Kara. Anak laki-laki selalu jadi jagoan bukan."

"Ya seperti ayahnya...," dukung Kara. Akhirnya dia menengadah menatap Galih dan tertawa hambar.

Galih sedikit tersentak dia menyentuh pipi Kara dan mengelusnya pelan. Membuat Kara tersentak seperti mendapat setruman listrik. "Kamu pasti tidak makan lagi. Pucat sekali, dek. Pokoknya sekarang harus makan!"

Kara menarik kepalanya menjauh dari tangan Galih. "Ga aahhh bang. Kita ketemuan di sini bukan untuk makan-makan kan. Untuk bicara, seperti kata abang."

"Tapi aku tidak pernah bisa memaafkan diriku jika kejadian yang dulu terulang lagi," ujar Galih dia nyaris seperti membentak.

Kara mendengus di tempatnya. Menunduk dan berkata, "Aku masih mencintaimu...," ujarnya pelan.
------------------------------------
bersambung...

Kata pada Jendela

*) aku masih saja memuja kata. ketika aku berkasih dengamu. ketika aku bercinta denganmu. ketika aku menatapmu. di dalam sana aku menemukan banyak kata yang tidak mampu diujar hanya dengan satu kali sentuh satu kali bicara satu kali mendengar dan satu kali kecupan. karena kata kurangkai seperti ribuan picisan untuk dilayangkan atas pujian keindahanmu...

*) malam melarut di tubir jendela. ketika gelap merayang menghadang senja. menyembunyikan kemilau sinar matahari dan embun yang merayap pun membekas menyublim. Rasanya dingin...

*) jendelaku seakan membeku. bekerak embun yang dikirimkan hujan dan badai di luar sana. aku jauh melihat... mendamba kau di luar sana dengan senyummu tatapmu hadiahmu dan cintamu. seakan-akan tak ada hari lagi yang dapat kuhabiskan denganmu

*) dan perlahan jari-jariku bermain... bermain pada kaki-kaki jendela. bergerak pada badan tubuhnya yang terbuat dari kaca. aku tidak peduli betapa dinginnya menusuk tulang jari-jariku. biar kaku saja dibuatnya. karena aku sudah mati rasa. rasaku hanya untuk cinta.



*) dan kata-kata merambah menjalar di sisi-sisi badan kacanya membentuk sebuah frasa. mereka terkadang datang sebagai pujian. yang sudah kukatakan hanya untuk dirimu...

*) dan kata-kata pada jendela itu bertulis "I miss you"