sabato 21 agosto 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter III)
--------------------------
Kali ini Kara kembali menyeruput tehnya. Dia tersenyum pada sepupunya yang masih menegang sementara pinggulnya belum panas menempel pada kursi. "Ada seseorang yang pernah bercerita padaku bahwa dia meninggalkan sebuah surat di balik buku catatan Ekonomi teman sekelasnya. Dia tidak menyertakan namanya di sana. Dia hanya menuliskan bahwa sejak pertama kali seorang gadis bermata hijau gelap seperti gadis-gadis India cantik masuk ke dalam kelasnya dan melemparkan senyum paling hangat, gadis itu telah mengubah semua dunianya.

"Orang itu bercerita, gadis itu biasa. Semua orang melihatnya biasa. Tapi dia melihatnya berbeda. Ketika semua bergerak dan terekam dalam fragmen ingatan. Aku mendengarkannya dengan saksama setiap kali dia datang ke rumahku dan mencari sepupuku dan ternyata sepupuku sering sekali sedang pergi. Dia menunggu hingga larut. Tapi sepupuku tak kunjung kembali.

"Aku ingat waktu mereka pertama kali keluar rumah. Aku masih sangat tiga belas tahun di mana sepupuku enam belas tahun. Dan orang tersebut tetap menunggu sepupuku setiap kali dia datang, dengan harapan bahwa suatu hari dia sadar bahwa orang tersebut mencintainya. Ketika mereka pulang dari seharian bepergian entah ke mana aku melihat wajah sepupuku begitu ceria. Dia membaca semua surat yang selalu di selipkan di bawa buku catatan ekonomi. Dia menangis bahagia kadang-kadang. Dan aku melihatnya tetap menyembunyikan perasaannya ketika orang tersebut menyatakan perasaannya.

"Aku ingat di hari liburan waktu aku berusia 15 tahun. Sepupuku berikrar akan menikahi seorang pria yang dengan apa adanya menerimanya di saat sempurna dan kacaunya. Yang setia menunggunya hingga larut malam. Dan mampu membuatnya jatuh cinta setengah gila. Yaaahhh dan akhirnya sepupuku benar jatuh cinta kan. Dan dia berkata dia menemukan pangerannya ketika umurnya tujuh belas tahun. Saat orang tersebut mengira dia sudah benar-benar terlambat untuk terus berharap. Dan sepupuku menerimanya."

Aku seperti mendengar sebuah dongeng yang dibuat-buat. Seperti bukan sebuah realita. Sejenak aku mengira Kara adalah seorang pendongeng atau seorang novelis yang sudah terbiasa membuat orang menangis dengan caranya bercerita. Tapi kini Farah menangis menatap tangannya yang menggenggam segunung tisu kotor.

"Cukup!" potong Farah ketika Kara melanjutkan ceritanya. "Siapa yang salah, Kara?"

"Salah? Sebenarnya tidak ada yang salah dari awal, sayang. Kau hanya tidak bisa menangani emosimu sendiri. Kau sedang mengandung dan kau haus perhatian. Wanita menjadi sangat sensitif ketika mereka mengandung. Salman tetap menghubungiku membicarakan bagaimana caranya dia menanganimu yang sering marah belakangan ini. Aku kira dia sudah mampu menanganimu seorang diri. Tapi percaya padaku Farah, sejujurnya kau yang berubah."

"Aku? Kenapa harus aku?"

"Karena aku juga bertanya-tanya mengapa ibuku yang berubah?"

"Apa yang salah dengan wanita, Kara?"

"Tidak tahu."

"Aku tahu kau tahu."

"Aku benar-benar tidak tahu. Aku diberikan hak memilih untuk itu aku memilih untuk tidak berubah. Karena aku tidak punya alasan untuk berubah."

"Dan aku?"

"Kau juga tidak punya alasan untuk berubah. Tapi kini kau punya alasan, kau ingin rumah tanggamu kembali normal kan? Aku tahu dalam hati kecilmu kamu tidak ingin bayimu lahir tanpa ayah. Aku lebih tahu lagi bahwa Salman selalu ingin ada di sampingmu setiap detik setiap saat ketika bayi itu lahir ketika bayi itu menjadi salah seorang kebanggannya yang akan melengkapi kebahagiaan kalian."

"..."

"Jika beberapa tahun yang lalu aku boleh bertanya pada ayah dan ibuku aku ingin berkata, apa aku dan Kimi tidak cukup untuk mereka tetap bahagia? Apa hebatnya orang lain jika kita berempat bisa lebih hebat dengan kebahagiaan kita sendiri? Tapi ketika seseorang sudah punya alasan yang lebih kuat untuk mengatakan berpisah itu tidak akan ada gunanya. Dan selama kamu masih tidak punya alasan apapun untuk benar-benar kuat menjalani ini sendirian, kembalilah... Suamimu menyayangimu suamimu mencintaimu."

Mereka terdiam. Aku melihat mata Kara berkaca-kaca, dia menengadah menatap bohlam lampu di atas. Terlihat berpikir. Sedangkan Farah terdiam di tempatnya duduk merenung dan menangis sembari mengelus perutnya, dia tersenyum kecil beberapa kali.

Beberapa menit kemudian Kara mengangkat ponselnya. "Iya masuk saja," sahutnya.

Aku menangkap bayangan seseorang berlari di luar jendela. Dia masuk lewat pintu kafe yang terayun ketika ada salah seorang pelanggan yang keluar. Seorang pria tinggi dengan kemeja biru gelap, tampak baru saja pulang kerja. Wajahnya menyiratkan kecemasan. Dia melihat ke arah Kara dan Farah. Tampangnya lega dan terlihat nyaris menangis.

Dia mendekat perlahan di belakang Farah. Menyentuh bahunya ragu sementara Farah tak berkutik di tempatnya begitu pula Kara.

"Faya...," sapanya pelan. Farah menoleh cepat menemukan tubuh suaminya di hadapannya. Dia menjatuhkan dirinya ke pelukan suaminya dan suaminya menangkapnya, mengeratkan kedua tangannya dalam pelukan hangat. "Maafkan aku demi apapun maafkan aku sayang...," isak Salman sambil mengecup kening istrinya.

Meja itu kembali menjadi pusat perhatian. Semua orang menatap drama unrealistis yang benar-benar terjadi itu. Sedangkan si pelaku pendamping serba tahu, Kara... terdiam dengan senyum bangga di wajahnya.

"Aku yang harusnya minta maaf. Maafkan aku Salman. Aku yang tidak mengerti..."

Hari itu aku melihat lebih banyak drama dari sebuah cerita yang kukira sangat singkat. Ada alter ego dari sosok Kara yang semakin membuatku berpikir. Bagaimana gadis ini mampu melalui segala hal yang begitu besar terjadi di hidupnya? Apa dia begitu kuat? Apa dia sudah terlalu terbiasa dengan segala hal tersebut? Apa yang menyebabkannya tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri sedangkan semua orang mampu diselamatkannya?

Malam ini ditutup dengan tiga cangkir teh di atas meja tersebut. Aku tidak pernah menyajikan lebih dari satu cangkir di meja itu selama ini. Tapi aku kira ini mungkin akhirnya yang bahagia sementara ada banyak orang lain lagi yang mungkin memiliki akhir yang berbeda dalam kisah selanjutnya.

--------------------------------
bersambung...

Nessun commento:

Posta un commento