martedì 10 agosto 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter III)

--------------------------------
Adegan yang terjadi di belakangku berlangsung selama satu menit. Sampai akhirnya Kara melepas dekapan kawannya itu. Dia mendudukannya sama seperti waktu dulu dia mendudukkan Kimi--dengan penuh perasaan. Tubuh gadis itu terlalu ringkih. Padahal aku yakin dari perawakannya dia gadis yang sangat kuat.

"Kamu minum dulu, ya Far...," ujar Kara menawarkan teh yang tadinya dihidangkan untuknya tersebut. Gadis itu meneguknya perlahan. Dan dia jauh lebih tenang setelah itu. "Kamu kenapa lagi, Farah?"

Gadis itu bernama Farah. Dan dia menggenggam tangan Kara amat kencang. Aku memindah posisi dudukku sedikit menyamping agar bisa lebih jelas memperhatikan mereka. Maaf mungkin aku tukang nguping. Tapi ini salah satu hal yang membuat perhatianku tercuri dari kota rancu ini.

"Aku sudah tidak sanggup lagi, Kar...," bisik Farah pelan. Aku dapat mendengarnya walau sedikit.

"Ya Tuhan... Farah kamu harusnya pikirkan ini baik-baik. Dari awal. Apa tidak ada yang bisa diselamatkan lagi?"

"Sama sekali."

"Kalian sudah cukup lama menjalani masa pacaran. Lalu kenapa?"

"Pernikahan berbeda dengan pacaran, Kara."

Kara mendengus. "Ini adalah salah satu hal dari sekian banyak hal yang tidak pernah ingin aku temui seumur hidupku kalau aku bisa. Salah satu dari sekian banyak hal yang paling tidak ingin aku bicarakan. Maaf...," elak Kara.

Namun Farah menahannya. "Jangan pergi, Ra! Kamu satu-satunya orang yang bisa aku cari saat ini. Salman tidak mungkin aku temui saat ini. Dia masih sangat emosi setelah tahu yang sebenarnya."

"Iya, sebenarnya bahwa selama ini kalian masih sangat kekanak-kanakkan," tegas Kara. "Dengar Farah, kamu lebih tua dariku. Aku sayang padamu, kamu kakak sepupuku yang menyelamatkanku dari keterpurukan sewaktu mama dan papa bercerai. Sewaktu aku dipisahkan dari Kimi. Kamu yang mengatakan padaku untuk kuat. Dan sekarang aku ingin sekali saja berkata padamu, cobalah untuk kuat. Kalian baru setahun menikah."

"Tidak ada perselingkuhan, tidak ada pertentangan orang tua, kalian sangat serasi dan bahagia. Terlebih kandunganmu, Farah. Kau sedang mengandung dua bulan. Kalian menunggu-nunggunya cukup lama kan?" lanjut Kara.

Dia sedang mengandung? Tidak terlalu terlihat perutnya membesar. Tapi dia terlihat sedikit gemuk.

"Salman tidak ingin bicara denganku."

"Salman ingin bicara denganmu. Dia berkata padaku sewaktu aku chatting dengannya tadi malam. Aku langsung bilang padamu kan. Apa kau tidak coba menghubunginya?"

"Kenapa tidak dia yang menghubungiku?"

"Karena dia menunggu sampai emosimu reda. Satu-satunya orang yang emosinya sedang tidak teratur dalam kehidupan rumah tangga kalian adalah kamu, Farah. Kamu yang menangis kan saat ini, berlari padaku memelukku berkata ingin cerai. Kamu yang menghubungiku sebulan lalu, marah-marah. Mengatakan Salman tidak perhatian dan sebagainya."

"Mama dan papamu yang sudah bertahun-tahun menikah pun bisa bercerai. Kenapa aku tidak?"

Kara terdiam. Aku tahu kata-kata itu sangat menusuk hatinya. Siapa yang menginginkan kehancuran sebuah hubungan yang dibinanya sendiri. Aku melihat Kara sedikit gemetar. Wajahnya memerah dan matanya mulai mengeluarkan air mata ketika dia menunduk malu.

"Apa yang kamu inginkan sewaktu kecil, Farah?" tanya Kara pelan, masih menunduk menjauh dari tatapan orang-orang.

"Aku?" tanya Farah.

"Impian kita berdua, Farah..."

--------------------------------
bersambung...

Nessun commento:

Posta un commento