CHAPTER II
Aku menguap di bibir meja bar. Lila memandangku dengan tatapan skeptisnya. Dia menyikut lenganku dan aku memprotesnya. "Ada apa si, La?"
"Dia datang lagi, Tan!" desis Lila sembari memberikan kode mata ke arah pintu masuk. Seorang gadis, gadis yang sama yang beberapa waktu lalu aku ceritakan kembali datang ke kafe ini.
Aku melirik ke arah jam. Pukul 16.20. Tepat! Dia selalu datang pada waktu yang tepat. Mungkin dia bisa teleport dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga tidak pernah lewat barang sedetik pun bahkan tidak pernah datang lebih awal dari pukul 16.20. Aku telah menghitungnya. Ini mungkin kali ke 12 dia datang kemari. Sedang lawan bicaranya sudah berganti-ganti 12 kali pula.
Salah satu yang membuatku sampai betah mendengarkan adalah ketika seorang wanita paruh baya datang kepada Kara. Dia hanya berada di sana sekitar 15 menit, dan wanita itu menunjukkan foto seorang laki-laki. Aku bahkan mengenali foto itu. Itu foto Jeff. Singkat cerita, wanita itu pun pulang kembali karena lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Kara. Kini Kara tidak hanya menghancurkan hati Jeff tapi juga ibunda Jeff.
Kara menghampiri meja bar. "Secangkir teh yang biasa," ujarnya dengan senyuman. Aku memberikannya bon dan dia duduk di meja yang oleh salah seorang pelayan ditarik papan RESERVED nya. Dia telah duduk di sana untuk ke-12 kalinya. Lalu kini aku tengah menyajikan secangkir teh pesanan biasanya untuk ke-12 kalinya juga.
Aku meninggalkan Kara yang duduk dan memainkan jemarinya di atas Blackberry Onyx nya. Yah cukup membuat saya iri. Aku kembali ke dalam meja barku. Membersihkan meja bar, pura-pura tak memperhatikannya. Lila berdeham di sampingku, dia mengkode kembali ke arah pintu masuk.
Seorang anak kecil. Ya aku rasa dia seorang anak kecil yang sangat atraktif. Dia berjalan dengan berjingkat riang, rambut panjang hitamnya dikuncir dua, dia memakai kaus pink bergambar Dora The Explorer, dan celana pendek warna ungu, juga membawa tas yang juga bergambar Dora. Anak itu tersenyum dan berlari.
Kara berdiri dari kursinya dan merentangkan tangan. Dia memeluk anak perempuan kecil itu. Mendekapnya erat dengan senyuman yang sangat mengembang. Dia menggendong anak itu dan mendudukannya di kursi di hadapan tempatnya duduk. "Tunggu di sini ya, Kimi...," peringat Kara yang disambut anggukan yakin oleh anak tersebut. Kara menghampiriku kembali dan memesan jus jeruk.
Aku memperhatikan anak kecil itu. Dia datang seorang diri, namun tidak ada sedikit pun sirat ketakutan di wajahnya. Kimi--begitu Kara menyebutnya--duduk dengan tenang di kursinya. Kakinya bergantian bergoyang ke depan dan ke belakang. Wajahnya tetap tersenyum sepanjang yang aku lihat.
"Kimi ke sini sama siapa?" tanya Kara.
"Sendiri," jawab Kimi bersemangat. Kakinya masih bergoyang-goyang. Aku menghampiri mereka dan menyajikan jus jeruk tersebut di depan Kimi. "Aku bilang sama mama aku mau ketemu kakak. Jadinya tadi aku naik taksi dibekelin uang."
"Kimi kenapa ga bilang sama kakak kalo ga ada yang anter," keluh Kara. "Kan bisa kakak jemput di rumah. Kamu kan masih delapan tahun bahaya sayang. Kok mama biarin kamu sih! Atau jangan-jangan kamu yang kabur?!"
Kimi terdiam. Kali ini dia tidak tersenyum. "Sebenarnya mama ga ijinin aku ketemu kakak. Tapi aku kangen kakak. Aku kira kakak sama papa..."
Saat itu juga aku tersentak dari rutinitasku. Di sinilah titik aku kembali mendengarkan dan tertarik dengan pembicaraan Kara.
"Dia datang lagi, Tan!" desis Lila sembari memberikan kode mata ke arah pintu masuk. Seorang gadis, gadis yang sama yang beberapa waktu lalu aku ceritakan kembali datang ke kafe ini.
Aku melirik ke arah jam. Pukul 16.20. Tepat! Dia selalu datang pada waktu yang tepat. Mungkin dia bisa teleport dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga tidak pernah lewat barang sedetik pun bahkan tidak pernah datang lebih awal dari pukul 16.20. Aku telah menghitungnya. Ini mungkin kali ke 12 dia datang kemari. Sedang lawan bicaranya sudah berganti-ganti 12 kali pula.
Salah satu yang membuatku sampai betah mendengarkan adalah ketika seorang wanita paruh baya datang kepada Kara. Dia hanya berada di sana sekitar 15 menit, dan wanita itu menunjukkan foto seorang laki-laki. Aku bahkan mengenali foto itu. Itu foto Jeff. Singkat cerita, wanita itu pun pulang kembali karena lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Kara. Kini Kara tidak hanya menghancurkan hati Jeff tapi juga ibunda Jeff.
Kara menghampiri meja bar. "Secangkir teh yang biasa," ujarnya dengan senyuman. Aku memberikannya bon dan dia duduk di meja yang oleh salah seorang pelayan ditarik papan RESERVED nya. Dia telah duduk di sana untuk ke-12 kalinya. Lalu kini aku tengah menyajikan secangkir teh pesanan biasanya untuk ke-12 kalinya juga.
Aku meninggalkan Kara yang duduk dan memainkan jemarinya di atas Blackberry Onyx nya. Yah cukup membuat saya iri. Aku kembali ke dalam meja barku. Membersihkan meja bar, pura-pura tak memperhatikannya. Lila berdeham di sampingku, dia mengkode kembali ke arah pintu masuk.
Seorang anak kecil. Ya aku rasa dia seorang anak kecil yang sangat atraktif. Dia berjalan dengan berjingkat riang, rambut panjang hitamnya dikuncir dua, dia memakai kaus pink bergambar Dora The Explorer, dan celana pendek warna ungu, juga membawa tas yang juga bergambar Dora. Anak itu tersenyum dan berlari.
Kara berdiri dari kursinya dan merentangkan tangan. Dia memeluk anak perempuan kecil itu. Mendekapnya erat dengan senyuman yang sangat mengembang. Dia menggendong anak itu dan mendudukannya di kursi di hadapan tempatnya duduk. "Tunggu di sini ya, Kimi...," peringat Kara yang disambut anggukan yakin oleh anak tersebut. Kara menghampiriku kembali dan memesan jus jeruk.
Aku memperhatikan anak kecil itu. Dia datang seorang diri, namun tidak ada sedikit pun sirat ketakutan di wajahnya. Kimi--begitu Kara menyebutnya--duduk dengan tenang di kursinya. Kakinya bergantian bergoyang ke depan dan ke belakang. Wajahnya tetap tersenyum sepanjang yang aku lihat.
"Kimi ke sini sama siapa?" tanya Kara.
"Sendiri," jawab Kimi bersemangat. Kakinya masih bergoyang-goyang. Aku menghampiri mereka dan menyajikan jus jeruk tersebut di depan Kimi. "Aku bilang sama mama aku mau ketemu kakak. Jadinya tadi aku naik taksi dibekelin uang."
"Kimi kenapa ga bilang sama kakak kalo ga ada yang anter," keluh Kara. "Kan bisa kakak jemput di rumah. Kamu kan masih delapan tahun bahaya sayang. Kok mama biarin kamu sih! Atau jangan-jangan kamu yang kabur?!"
Kimi terdiam. Kali ini dia tidak tersenyum. "Sebenarnya mama ga ijinin aku ketemu kakak. Tapi aku kangen kakak. Aku kira kakak sama papa..."
Saat itu juga aku tersentak dari rutinitasku. Di sinilah titik aku kembali mendengarkan dan tertarik dengan pembicaraan Kara.
----------------
bersambung
Nessun commento:
Posta un commento