------------------------------
Pria itu melempar senyumnya yang ternyata memiliki sihir. Wajahnya jauh lebih tampan dengan senyum tersebut. Dan entah mengapa di saat aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pria itu, Kara memilih untuk diam saja dan tetap memandang cangkirnya.
"Baik," jawab Kara. "Bang Galih mau pesan minum apa? Nanti saya pesankan..."
"Biar saya sendiri saja yang pesan. Kamu di sini saja."
Dan pria itu datang ke meja barku. Dia mengeluarkan suaranya yang jauh lebih merdu dari yang kudengar dari kejauhan. Matanya coklat pekat. Ini pertama kalinya aku merasa deg-degan berdiri di balik meja bar. Dia memesan segelas espresso. Aku menyajikan espresso dengan kikuk. Sesekali aku mencuri pandang ke arah meja Kara. Dia masih duduk sendiri. Sementara lawan bicaranya menunggu di kasir untuk membayar.
Wajah gadis itu sendu. Dia lebih pucat dari saat dia masuk ke kafe ini. Dia sempat terpaku sesaat memandang tubuh pria yang dipanggilnya Bang Galih. Dan kembali terpaku menatap cangkirnya ketika aku tiba menaruh espresso di mejanya. Aku berbalik dan kembali ke balik meja bar. Pria itu kembali duduk di kursinya menyeruput espresso.
"Baik," jawab Kara. "Bang Galih mau pesan minum apa? Nanti saya pesankan..."
"Biar saya sendiri saja yang pesan. Kamu di sini saja."
Dan pria itu datang ke meja barku. Dia mengeluarkan suaranya yang jauh lebih merdu dari yang kudengar dari kejauhan. Matanya coklat pekat. Ini pertama kalinya aku merasa deg-degan berdiri di balik meja bar. Dia memesan segelas espresso. Aku menyajikan espresso dengan kikuk. Sesekali aku mencuri pandang ke arah meja Kara. Dia masih duduk sendiri. Sementara lawan bicaranya menunggu di kasir untuk membayar.
Wajah gadis itu sendu. Dia lebih pucat dari saat dia masuk ke kafe ini. Dia sempat terpaku sesaat memandang tubuh pria yang dipanggilnya Bang Galih. Dan kembali terpaku menatap cangkirnya ketika aku tiba menaruh espresso di mejanya. Aku berbalik dan kembali ke balik meja bar. Pria itu kembali duduk di kursinya menyeruput espresso.
"Bagaimana kabar Mbak Alin?" tanya Kara sembari dia memainkan jemarinya pada tubir cangkir.
"Kondisinya sangat baik. Alin sedang mengandung anak kedua kami. Sudah enam bulan. Itu mengapa aku tidak membawanya ke Jakarta kali ini lagipula aku hanya pulang selama tiga hari. Besok aku pulang," papar Galih.
"Oh... Sudah sebesar apa Gamal sekarang?"
"Dia sudah tiga tahun. Kamu harus lihat betapa lincahnya dia sekarang, Kara. Anak laki-laki selalu jadi jagoan bukan."
"Ya seperti ayahnya...," dukung Kara. Akhirnya dia menengadah menatap Galih dan tertawa hambar.
Galih sedikit tersentak dia menyentuh pipi Kara dan mengelusnya pelan. Membuat Kara tersentak seperti mendapat setruman listrik. "Kamu pasti tidak makan lagi. Pucat sekali, dek. Pokoknya sekarang harus makan!"
Kara menarik kepalanya menjauh dari tangan Galih. "Ga aahhh bang. Kita ketemuan di sini bukan untuk makan-makan kan. Untuk bicara, seperti kata abang."
"Tapi aku tidak pernah bisa memaafkan diriku jika kejadian yang dulu terulang lagi," ujar Galih dia nyaris seperti membentak.
Kara mendengus di tempatnya. Menunduk dan berkata, "Aku masih mencintaimu...," ujarnya pelan.
------------------------------------
bersambung...
Nessun commento:
Posta un commento