-------------------------
Kara berpindah duduk. Dia menarik kursinya mendekat ke arah adiknya. Aku tidak dapat melihat wajah Kara sekarang, karena dia memunggungiku. Namun aku dapat melihat tangan Kara bergerak. Dia menyampirkan lengannya untuk mendekap adiknya. Dan aku mendengar tangis isak si kecil Kimi.
"Sudah sayaang...," ujar Kara menenangkan. Aku tidak pernah melihat sisi semanis ini dari gadis dingin di hadapanku ini.
"Ella jahat padaku. Dia merebut mama. Dia mendapatkan semuanya, boneka kakak yang kakak berikan padaku, baju-baju kakak yang masih tersimpan di dalam lemari, dia mendapatkan kamar kakak tempat aku melarikan diri bila aku kangen kakak. Ella cantik. Ella sudah remaja. Ella temani mama ke salon. Ella temani mama ke mall. Ella memfitnah ku cengeng tiap hari. Ella suka menjambak rambutku," adu Kimi. Dia menarik ingus yang tertahan di hidungnya dan tangisnya pecah dalam bisu tenang.
Di luar perlahan senja menghilang. Menyisakan semburat lembayung petang pada langit. Lampu-lampu kota mulai menyala. Memancarkan sedikit sinar pada wajah jalanan. Kafe semakin ramai dan penuh sesak orang-orang yang lelah sepulang kerja. Dan aku berkata pada Lila, "Kau mau dengar cerita seru lagi kan, Lil?"
Lila memutar dua bola matanya, "Oke, I could handle it. Duduk aja sana biar Ibi bantuk aku," tanggap Lila seperti mengetahui maksudku untuk mendengar lebih banyak dari pembicaraan Kara dan Kimi.
Aku memperhatikan Kara menghapus air mata di wajah Kimi. Aku mampu melihat gerak tangannya walau di separuh wajah adiknya. Kali ini aku melihat Kara dalam sosok keibuan dan sosok yang penuh dengan banyak masalah.
"Kamu bisa minta kembalikan," ujar Kara.
Kimi menggeleng. "Mama membela Ella. Bahkan papa Ella juga. Aku takut. hiks... hiks... aku masih kecil kakak."
"Kimi sayang...sstt... sudah jangan menangis lagi. Kita bisa cari lagi bareng-bareng."
"Hikss hikss... kakak harus tahu. Aku gamau pengganti. Aku cuma mau kakak. Kakak bisa gantiin semua itu. Aku mau pulang sama kakak sama papa. Aku nggak mau tinggal sama mama, sama papa Ella, sama Ella. Nggak mau hiks hiks.. nggak mau."
Kara terdiam. Dia menyuruh Kimi untuk minum sedikit agar dirinya tenang. Tapi Kimi menolaknya. Dia menarik tangan kakaknya. Menggenggam jemari Kara dalam genggaman tangan kecilnya.
"Kakak... bawa aku sama kakak," mohon Kimi.
"Kakak nggak bisa, Kimi."
"Kenapa?"
"Perjanjian hak asuh kamu sama mama dan kakak ikut papa. Itu nggak bisa diganggu gugat lagi. Papa mama udah sepakat. Kakak..." Kara terdiam. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk. Dia mengenali sosok yang berjalan ke arahnya tersebut.
"Kakak?"
"Mama?"
Seorang wanita yang umurnya sudah kepala 5, namun masih tetap cantik berjalan ke arah meja Kimi dan Kara. Dia menarik tangan Kimi dari tangan Kara dan memaksa Kimi berdiri. Itu tadi sedikit kasar! Aku ingin sekali beranjak dari tempat dudukku dan menahan wanita itu menarik Kimi meskipun dia ibunya.
"Kamu bawa adik kamu sampai sini! Pintar banget kamu, Kara!" hardik wanita itu dengan suara tinggi. Semua mata tertuju ke arah meja tersebut.
"Ma..."
"Kalau Ella nggak kasih tahu mama Kimi pergi dari rumah dan papa kamu nggak kasih tahu mama kalau kamu suka pergi ke sini mungkin saja mama nggak akan ketemu sama Kimi lagi."
Kara mencoba menyentuh tangan ibunya. Namun tangan itu sudah bergerak menampar pipi pucat Kara.
"Mama...," isak Kimi. "Kakak nggak salah!"
"Nggak salah apa! Kita pulang Kimi. Nggak usah kamu ketemu-ketemu lagi sama kakak kamu yang kurang ajar ini. Biarin aja dia tinggal sama papanya yang bajingan itu."
Wanita itu menggendong tubuh kecil Kimi dan berlalu menjauh. Sementara Kara terpaku di tempatnya dia menangis. Aku tahu dia menangis di antara mata-mata yang melihatnya. Pertama kalinya aku melihatnya menangis. Kepalanya bergerak mengikuti sosok ibunya bergerak di luar jendela sampai ke sebuah mobil Merci di luar. Dan seorang pria bersama seorang gadis remaja keluar dari sana. Itu papa tirinya bersama Ella, saudara tirinya.
Kara terduduk di tempatnya seiring orang-orang yang tadi memperhatikannya mengalihkan pandangan mereka. Dia tertunduk dan aku tahu dia menangis.
Kara berada di sana hingga larut. Dan aku tahu dia sangat kacau. Aku menghidankang secangkir teh gratis untuknya agar dia tenang. Dia pulang ketika kafe nyaris tutup. Langkahnya gontai dan pandangannya kosong ketika aku mengantarnya hingga ke pintu keluar.
Kali ini pertama kali aku bicara padanya. Dia berkata, "Sejauh mana kau melihat? Kini kau tahu tidak semua hal di dunia ini sesempurna wajah kami. Bahkan hidup seorang gadis kecil berwajah seperti malaikat."
Dan dia berlalu berjanji akan datang lain hari. Tapi kenyataannya dia datang keesokan harinya. Tentunya dengan kisah baru.
"Sudah sayaang...," ujar Kara menenangkan. Aku tidak pernah melihat sisi semanis ini dari gadis dingin di hadapanku ini.
"Ella jahat padaku. Dia merebut mama. Dia mendapatkan semuanya, boneka kakak yang kakak berikan padaku, baju-baju kakak yang masih tersimpan di dalam lemari, dia mendapatkan kamar kakak tempat aku melarikan diri bila aku kangen kakak. Ella cantik. Ella sudah remaja. Ella temani mama ke salon. Ella temani mama ke mall. Ella memfitnah ku cengeng tiap hari. Ella suka menjambak rambutku," adu Kimi. Dia menarik ingus yang tertahan di hidungnya dan tangisnya pecah dalam bisu tenang.
Di luar perlahan senja menghilang. Menyisakan semburat lembayung petang pada langit. Lampu-lampu kota mulai menyala. Memancarkan sedikit sinar pada wajah jalanan. Kafe semakin ramai dan penuh sesak orang-orang yang lelah sepulang kerja. Dan aku berkata pada Lila, "Kau mau dengar cerita seru lagi kan, Lil?"
Lila memutar dua bola matanya, "Oke, I could handle it. Duduk aja sana biar Ibi bantuk aku," tanggap Lila seperti mengetahui maksudku untuk mendengar lebih banyak dari pembicaraan Kara dan Kimi.
Aku memperhatikan Kara menghapus air mata di wajah Kimi. Aku mampu melihat gerak tangannya walau di separuh wajah adiknya. Kali ini aku melihat Kara dalam sosok keibuan dan sosok yang penuh dengan banyak masalah.
"Kamu bisa minta kembalikan," ujar Kara.
Kimi menggeleng. "Mama membela Ella. Bahkan papa Ella juga. Aku takut. hiks... hiks... aku masih kecil kakak."
"Kimi sayang...sstt... sudah jangan menangis lagi. Kita bisa cari lagi bareng-bareng."
"Hikss hikss... kakak harus tahu. Aku gamau pengganti. Aku cuma mau kakak. Kakak bisa gantiin semua itu. Aku mau pulang sama kakak sama papa. Aku nggak mau tinggal sama mama, sama papa Ella, sama Ella. Nggak mau hiks hiks.. nggak mau."
Kara terdiam. Dia menyuruh Kimi untuk minum sedikit agar dirinya tenang. Tapi Kimi menolaknya. Dia menarik tangan kakaknya. Menggenggam jemari Kara dalam genggaman tangan kecilnya.
"Kakak... bawa aku sama kakak," mohon Kimi.
"Kakak nggak bisa, Kimi."
"Kenapa?"
"Perjanjian hak asuh kamu sama mama dan kakak ikut papa. Itu nggak bisa diganggu gugat lagi. Papa mama udah sepakat. Kakak..." Kara terdiam. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk. Dia mengenali sosok yang berjalan ke arahnya tersebut.
"Kakak?"
"Mama?"
Seorang wanita yang umurnya sudah kepala 5, namun masih tetap cantik berjalan ke arah meja Kimi dan Kara. Dia menarik tangan Kimi dari tangan Kara dan memaksa Kimi berdiri. Itu tadi sedikit kasar! Aku ingin sekali beranjak dari tempat dudukku dan menahan wanita itu menarik Kimi meskipun dia ibunya.
"Kamu bawa adik kamu sampai sini! Pintar banget kamu, Kara!" hardik wanita itu dengan suara tinggi. Semua mata tertuju ke arah meja tersebut.
"Ma..."
"Kalau Ella nggak kasih tahu mama Kimi pergi dari rumah dan papa kamu nggak kasih tahu mama kalau kamu suka pergi ke sini mungkin saja mama nggak akan ketemu sama Kimi lagi."
Kara mencoba menyentuh tangan ibunya. Namun tangan itu sudah bergerak menampar pipi pucat Kara.
"Mama...," isak Kimi. "Kakak nggak salah!"
"Nggak salah apa! Kita pulang Kimi. Nggak usah kamu ketemu-ketemu lagi sama kakak kamu yang kurang ajar ini. Biarin aja dia tinggal sama papanya yang bajingan itu."
Wanita itu menggendong tubuh kecil Kimi dan berlalu menjauh. Sementara Kara terpaku di tempatnya dia menangis. Aku tahu dia menangis di antara mata-mata yang melihatnya. Pertama kalinya aku melihatnya menangis. Kepalanya bergerak mengikuti sosok ibunya bergerak di luar jendela sampai ke sebuah mobil Merci di luar. Dan seorang pria bersama seorang gadis remaja keluar dari sana. Itu papa tirinya bersama Ella, saudara tirinya.
Kara terduduk di tempatnya seiring orang-orang yang tadi memperhatikannya mengalihkan pandangan mereka. Dia tertunduk dan aku tahu dia menangis.
Kara berada di sana hingga larut. Dan aku tahu dia sangat kacau. Aku menghidankang secangkir teh gratis untuknya agar dia tenang. Dia pulang ketika kafe nyaris tutup. Langkahnya gontai dan pandangannya kosong ketika aku mengantarnya hingga ke pintu keluar.
Kali ini pertama kali aku bicara padanya. Dia berkata, "Sejauh mana kau melihat? Kini kau tahu tidak semua hal di dunia ini sesempurna wajah kami. Bahkan hidup seorang gadis kecil berwajah seperti malaikat."
Dan dia berlalu berjanji akan datang lain hari. Tapi kenyataannya dia datang keesokan harinya. Tentunya dengan kisah baru.
--------------------
bersambung....
Nessun commento:
Posta un commento