sabato 9 ottobre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter V)
----------------------------
Sore berlanjut di tengah keramaian. Asap hangat yang mengepul lewat secangkir teh di antara dua pembicara perlahan menghilang. Teh itu perlahan mendingin seiring berkurang kadarnya pada cangkir. Dan dialog yang kusaksikan berlanjut ketika lampu-lampu jalan bersinar memendar perlahan dan irama musik ballad yang diputar di kafe mengalun.

"Papa sedang tidak ada di Jakarta hari ini. Dia baru kembali minggu depan. Ada tugas di Medan, nek," beritahu Kara.

"Kalau begitu nenek bicara denganmu saja, Kara."

"Baiklah. Aku akan mendengarkan."

"Nenek memang ingin bicara. Tapi ini bukan sesuatu yang harus didengarkan. Ini sesuatu yang harus diterima."

Kara mengerutkan dahi. Sedangkan aku mulai merasa si nenek ini terlalu banyak berteka-teki. Tapi ucapannya barusan bukan lagi sebuah teka-teki ketika dia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya. Sebuah kotak kayu berukuran 10x15 cm dan menyerahkannya pada cucunya.

"Apa ini?" tanya Kara tidak berani menyentuh kotak tersebut.

"Sesuatu yang harus kamu terima." Dengan tangan keriputnya ia membuka kotak tersebut. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas yang pasti itu adalah barang berharga. Karena Kara terlihat sangat terkejut melihatnya.

"Liontin ini milik almarhum Tante Tiara kan, nek?" tanya Kara sedikit takjub.

"Ini milik nenek sebelumnya. Oma tua menurunkan pada nenek. Ini liontin yang turun temurun dimiliki keluarga kita, Kara sayang...," cerita nenek, "sejak Tiara meninggal dua tahun lalu aku mencari-cari siapa yang berhak memiliki liontin ini. Dan seharusnya ibumu yang memilikinya. Tapi..."

"Tapi itu berarti nenek tidak seharusnya memberikan ini padaku. Mama yang harusnya memakainya. Atau mungkin Kimi."

"Benarkan kamu cucu nenek?"

"I-iya."

"Maka kamu masih bagian dari keluarga ini. Meskipun orang tuamu telah bercerai. Nenek ingin memberikan ini padamu."

"Mengapa? Aku merasa tidak pantas dan tidak berhak."

"Sudah cukup melankolismu, Kara," sanggah nenek, "kamu mungkin sudah didepak di hati ibumu. Tapi tidak pernah ada mantan anak. Nenek menyayangimu seperti layaknya seorang ibu menyayangi anaknya." Wanita itu membelai pipi cucunya yang sedikit pucat sambil tersenyum. "Kamu tidak pernah terdepak dari hati nenek. Kamu tetap keluarga. Dan liontin ini pertanda bahwa kamu masih bagian dari keluarga ini."

Mereka saling menatap. Cukup lama. Dan Kara menunduk dia menggenggam tangan neneknya dan menciumnya lama.

"Tentang ibumu..."

"Ya?"

"Ada yang tidak kamu tahu."

---------------------------
bersambung

Nessun commento:

Posta un commento