martedì 7 settembre 2010

#Secangkir Teh

(sambungan Chapter IV)
-------------------------------
Kara menangis dan Galih membiarkannya. Mereka lama terdiam dalam bisu seperti itu. Lila berdiri di sisiku. Menyenggol tubuhku yang terdiam terpaku. "Sssst...," desisku pada Lila.

"Sekarang apa lagi yang tidak kau mengerti?" tanya Galih dengan suaranya yang dalam. Dia seperti kehilangan pesonanya.

"Aku tidak mengerti mengapa harus kau sembunyikan semua itu? Jika kamu tidak menyembunyikan, mungkin saja wanita yang ada di Auckland sana itu aku. Mungkin saja hidupku jauh lebih bahagia dari saat ini. Mungkin saja saat ini aku lebih leluasa menceritakan segala hal. Aku kesepian... Aku butuh seseorang yang mencintaiku," tuntut Kara.

"Aku harus menyembunyikannya, Kara. Di saat ketidakyakinanku datang aku harus menyembunyikannya. Aku harus berpikir dua kali."

"Dan kamu meragu di saat pernikahanmu dengan Alin. Dan mengapa tidak kau sembunyikan?"

Galih menggeleng. "Pernah kita bicara mengenai pilihan? Tidak baiklah. Tapi kita tahu mengenai pilihan. Kita tahu mengenai alasan sebuah pilihan. Dan kita tahu akan sebuah keputusan. Dan aku telah memilih untuk hidup bersama Alin dengan alasan aku mencintainya, aku ingin menjadi suaminya, menjadi ayah dari anak-anaknya, menjadi sumber kebahagiaannya, menjadi inspirasi hidupnya, menjadi jodohnya di dunia yang Tuhan berikan."

"Klise," umpat Kara.

"Ini waktunya kamu mengerti, Kara... Aku kembali demi kamu!"

"Demi memohon maaf ya... Aku memaafkan."

Galih menarik kedua tangan Kara. Menahannya untuk menutup wajahnya sekali lagi. "Oke ini tidak klise. Aku memintamu membuka hatimu. Aku memintamu mengerti. Aku memintamu untuk berhenti mencintaiku. Jahatkah aku? Iya aku jahat. Tapi ada satu sisi yang harus kamu mengerti dari semua ini... Kamu punya pilihan untuk keluar dari keterpurukanmu. Tidak hanya kamu satu-satunya manusia yang paling menderita di muka bumi ini. Ada banyak. Termasuk Alin. Kamu tidak tahu apa-apa soal Alin. Dan kamu tidak berhak meminta aku menceraikannya meskipun kamu sahabatku, adikku, meskipun kamu orang yang pernah aku cintai."

Kara menahan tangisnya. Dia menggeleng.

Galih mendengus. "Kamu kuat Kara. Aku tahu. Mudah bagi lelaki manapun jatuh cinta padamu, dik. Kamu hanya perlu membuka diri. Aku tahu kamu bisa memilih. Tidak ada yang pernah bermaksud menghancurkan hatimu. Karena Tuhan tidak menciptakan satu manusia pun untuk merasa sedih di jalan yang diberikan-Nya. Itu namanya tidak bersyukur."

Kara menarik kedua tangannya dan Galih membiarkannya. Gadis itu bersandar pada kursinya. Menatap Galih entah dengan tatapan apa. Dia kehilangan cahayanya. Cahaya yang pertama kali aku lihat dari dirinya pada kunjungan pertamanya kemari. Kemampuannya mematahkan hati. Dan kini hatinya dipatahkan seseorang.

Mereka terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Galih berkata, "Kamu bohong mengatakan tidak ingin hidup tanpa cinta dan tidak ingin menjadi milik siapapun. Yang perlu kamu lakukan hanya tidak mengulang kesalahan orang tuamu. Kamu bukan siapapun. Kamu ya kamu."

"Siapa yang membayarmu untuk mengatakan semua omong kosong itu padaku?"

"Tidak ada."

"Jadi apa tujuanmu?"

"Sudah kukatakan sejak awal aku ingin minta maaf padamu, Kara..."

Kara menarik nafas panjang menggigit bibirnya. Dia terdiam dan memejamkan matanya lalu perlahan mengangguk perlahan. "Kau pulang besok, Galih?" Galih mengangguk. "Aku... titip salam untuk Alin."

"Akan aku sampaikan."

"Dan aku... aku titip salam pada Galih yang kukenal bertahun-tahun yang lalu. Katakan padanya bahwa aku masih mencintainya teramat sangat."

Galih menyeruput espressonya dalam keheningan. Dia menatap Kara sekali lagi. Dia tersenyum meraih kedua tangan Kara dan mengecup keduanya pelan. "Akan aku sampaikan..."

Dia berdiri sementara Kara masih tersandar tak berdaya. "Maafkan aku sekali lagi... Tapi aku harus kembali."

Galih berbalik ketika Kara tidak menanggapinya sama sekali.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Kara. "Jika di dunia jodohmu adalah Alin. Apa di akhirat nanti aku yang menjadi jodohmu? Bisakah kamu tidak menyembunyikannya? Bisakah kamu jujur dan memilih aku?"

Galih terdiam. Dia tidak menoleh, dia hanya bergeming di tempatnya berdiri beberapa saat. Dia hanya menoleh sedikit tanpa isyarat dan berjalan terus tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan kata perpisahan. Dan Kara tidak menangis di tempatnya lagi. Dia hanya terdiam dan menghabiskan tehnya yang sudah mendingin.

Kali ini aku melihatnya kehilangan cinta sejatinya. Yang mungkin tidak akan pernah didapatkannya. Tapi seharusnya dia sadar Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya sesendiri kemurungan senja. Mungkin saja lain waktu dia kembali bersama semangat baru. Karena waktu terus berputar. Setiap orang punya pilihan. Dan manusia mana pun berhak memilih untuk keluar dari keterpurukannya.

Pasti akan kembali satu hari nanti, di mana jodohmu adalah dia.

-------------------------------
bersambung...

Nessun commento:

Posta un commento