--------------------------
Kara terguncang di tempatnya sendiri. Dia memilih menunduk dengan bahu yang gemetar menahan tangisnya yang akan meledak. Sedangkan Galih duduk lebih tegak, sedikit terkejut. Matanya menatap dengan gelisah pada gadis yang terguncang di depannya tersebut.
"Aku tidak bisa makan ketika kamu mengabari sudah ada di Jakarta. Sudah lebih dari lima tahun kita tidak bertemu. Sejak kamu menikah dan memutuskan untuk pindah ke Auckland bersamanya. Dipikiranku terlalu banyak kenangan. Kenangan yang selama ini membuat aku ingin jauh," jelas Kara. "Kamu mungkin menganggapku adik. Tapi hingga saat ini aku masih menganggapmu lebih."
Galih masih terdiam di tempatnya. Aku melihat ponselnya bergetar di meja, tetapi dia tetap fokus menatap Kara. Mungkinkah ini alter ego dari gadis ini? Sudah terlalu banyak alter ego yang aku lihat darinya.
"Aku memilih untuk tidak makan. Benar. Aku memilih untuk jatuh saja pingsan di hadapanmu. Atau saat aku sedang berjalan jauh ke sini. Mungkin saat itu orang-orang rumah sakit akan menghubungi ayahku, dan aku sudah berpesan pada ayahku agar menghubungimu. Semua sudah dirancang. Yaaaaahhh dan ternyata ketika kamu ada di sini aku tidak pingsan sama sekali. Aku hanya berusaha untuk terlihat sakit, seperti dulu. Ketika pernikahan kalian nyaris batal karena aku," lanjut Kara.
Aku nyaris tidak bisa berpikir. Aku pernah mendengar bahwa Kara memilih untuk tidak mencintai. Menjauhi cinta. Bahkan seperti tidak ingin menjadi milik lelaki manapun. Namun hari ini aku melihat dia seperti memohon belas kasihan dan cinta dari seorang laki-laki yang telah beristri.
"Aku tahu meminta seseorang yang telah beristri untuk mencintai diriku itu salah. Aku tahu menjadi penghancur rumah tangga orang itu juga salah. Aku tahu aku tahu bahkan aku tahu rasa sakitnya sebuah keluarga yang bercerai. Tapi aku bahkan tidak dapat menyangkal perasaanku sendiri. Di sini rasanya sakit, Galih." Kali ini air matanya benar-benar jatuh, tapi dia belum berani menengadah.
"Ka... Kara..."
"Saat kau bertemu Alin semua waktumu habis buat dia. Aku cemburu hingga ingin membunuhnya. Dia menganggapku seperti seorang anak perempuan manis yang tinggal di rumah sebelah. Ya, aku memang hanya tetanggamu. Tapi lebih dari itu aku mencintaimu. Dan tahukah ketika aku memilih untuk hidup tanpa cinta karena sakit hati ini? Aku nyaris mati rasa dan rasanya menyiksa."
"Realistis, Kara..."
"Apa?!!!" potong Kara. "Aku terlalu realistis, Galih. Aku seperti gadis yang diberi harapan dan diberi sesuatu yang berharga, lalu diinjak, dan dibuang, dihempaskan lalu dilupakan. Dan pikirku semua lelaki sama, kecuali ayahku. Tapi aku tetap menunggumu, Galih. Menunggumu seakan kau akan menceraikan Alin, seakan suatu hari kamu akan kembali menjemputku, atau sekedar menjadikanku selir hatimu. Dan ketika kamu pulang ke Jakarta aku seperti ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu."
"Tapi aku sadar itu semua tidak akan pernah terjadi...," dengus Kara. "Aku tidak ingin ada satupun rumah tangga yang kukenal lebur seperti rumah tangga ayah dan ibuku."
Galih mendekatkan tubuhnya ke arah Kara yang kini menangis dengan tangan menutupi wajahnya yang menunduk. Perlahan tangannya mengapai helaian rambut panjang Kara. Mengelusnya pelan di bagian atas kepalanya.
"Setiap orang berkata untuk maju, mengapa tidak maju?" tanya Galih.
Kara hanya menangis.
"Aku tahu itu pilihanmu. Tapi menunggu aku bukanlah pilihan yang tepat. Meninggalkan cinta juga bukan pilihan yang tepat. Satu-satunya yang membuat dirimu terpuruk sampai saat ini adalah karena kamu memilih untuk membiarkan cahayamu redup. Digerogoti rasa sakitmu sendiri dan alasanmu untuk tetap berada di garis yang sama bertahun-tahun.
"Mungkin setelah pertemuan kita hari ini kamu pun akan tetap seperti itu. Setiap orang ditakdirkan memiliki pasangannya masing-masing. Alin seperti permata bagiku, dia segalanya bagiku, dia ibu dari anak-anakku, dia pilihan Tuhan bagiku...aku tahu itu. Aku mencintainya dari dulu aku tahu itu. Dan aku tahu setiap hal kecil juga yang kau lakukan untukku Kara. Kamu seperti bintang kecil yang menghiburku di setiap malam aku mengalami kesedihan, sumber semangatku ketika aku merasa redup, dan temanku adik kecilku."
Tahu apa? Aku merasa itu puisi yang memang sudah dibuatnya sejak dulu. Namun ketika mendengarnya, rasanya dia memang menggambarkan perasaan yang sebenarnya dengan perumpamaan yang tepat.
"Kau tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu, Kara? Aku ingin bicara... Dan sedari tadi kita belum memulai pembicaraan inti kita. Bisakah aku mulai sekarang?"
Kara membuka wajahnya. Dia mengangguk. "Jadi apa?"
"Aku tidak bisa makan ketika kamu mengabari sudah ada di Jakarta. Sudah lebih dari lima tahun kita tidak bertemu. Sejak kamu menikah dan memutuskan untuk pindah ke Auckland bersamanya. Dipikiranku terlalu banyak kenangan. Kenangan yang selama ini membuat aku ingin jauh," jelas Kara. "Kamu mungkin menganggapku adik. Tapi hingga saat ini aku masih menganggapmu lebih."
Galih masih terdiam di tempatnya. Aku melihat ponselnya bergetar di meja, tetapi dia tetap fokus menatap Kara. Mungkinkah ini alter ego dari gadis ini? Sudah terlalu banyak alter ego yang aku lihat darinya.
"Aku memilih untuk tidak makan. Benar. Aku memilih untuk jatuh saja pingsan di hadapanmu. Atau saat aku sedang berjalan jauh ke sini. Mungkin saat itu orang-orang rumah sakit akan menghubungi ayahku, dan aku sudah berpesan pada ayahku agar menghubungimu. Semua sudah dirancang. Yaaaaahhh dan ternyata ketika kamu ada di sini aku tidak pingsan sama sekali. Aku hanya berusaha untuk terlihat sakit, seperti dulu. Ketika pernikahan kalian nyaris batal karena aku," lanjut Kara.
Aku nyaris tidak bisa berpikir. Aku pernah mendengar bahwa Kara memilih untuk tidak mencintai. Menjauhi cinta. Bahkan seperti tidak ingin menjadi milik lelaki manapun. Namun hari ini aku melihat dia seperti memohon belas kasihan dan cinta dari seorang laki-laki yang telah beristri.
"Aku tahu meminta seseorang yang telah beristri untuk mencintai diriku itu salah. Aku tahu menjadi penghancur rumah tangga orang itu juga salah. Aku tahu aku tahu bahkan aku tahu rasa sakitnya sebuah keluarga yang bercerai. Tapi aku bahkan tidak dapat menyangkal perasaanku sendiri. Di sini rasanya sakit, Galih." Kali ini air matanya benar-benar jatuh, tapi dia belum berani menengadah.
"Ka... Kara..."
"Saat kau bertemu Alin semua waktumu habis buat dia. Aku cemburu hingga ingin membunuhnya. Dia menganggapku seperti seorang anak perempuan manis yang tinggal di rumah sebelah. Ya, aku memang hanya tetanggamu. Tapi lebih dari itu aku mencintaimu. Dan tahukah ketika aku memilih untuk hidup tanpa cinta karena sakit hati ini? Aku nyaris mati rasa dan rasanya menyiksa."
"Realistis, Kara..."
"Apa?!!!" potong Kara. "Aku terlalu realistis, Galih. Aku seperti gadis yang diberi harapan dan diberi sesuatu yang berharga, lalu diinjak, dan dibuang, dihempaskan lalu dilupakan. Dan pikirku semua lelaki sama, kecuali ayahku. Tapi aku tetap menunggumu, Galih. Menunggumu seakan kau akan menceraikan Alin, seakan suatu hari kamu akan kembali menjemputku, atau sekedar menjadikanku selir hatimu. Dan ketika kamu pulang ke Jakarta aku seperti ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu."
"Tapi aku sadar itu semua tidak akan pernah terjadi...," dengus Kara. "Aku tidak ingin ada satupun rumah tangga yang kukenal lebur seperti rumah tangga ayah dan ibuku."
Galih mendekatkan tubuhnya ke arah Kara yang kini menangis dengan tangan menutupi wajahnya yang menunduk. Perlahan tangannya mengapai helaian rambut panjang Kara. Mengelusnya pelan di bagian atas kepalanya.
"Setiap orang berkata untuk maju, mengapa tidak maju?" tanya Galih.
Kara hanya menangis.
"Aku tahu itu pilihanmu. Tapi menunggu aku bukanlah pilihan yang tepat. Meninggalkan cinta juga bukan pilihan yang tepat. Satu-satunya yang membuat dirimu terpuruk sampai saat ini adalah karena kamu memilih untuk membiarkan cahayamu redup. Digerogoti rasa sakitmu sendiri dan alasanmu untuk tetap berada di garis yang sama bertahun-tahun.
"Mungkin setelah pertemuan kita hari ini kamu pun akan tetap seperti itu. Setiap orang ditakdirkan memiliki pasangannya masing-masing. Alin seperti permata bagiku, dia segalanya bagiku, dia ibu dari anak-anakku, dia pilihan Tuhan bagiku...aku tahu itu. Aku mencintainya dari dulu aku tahu itu. Dan aku tahu setiap hal kecil juga yang kau lakukan untukku Kara. Kamu seperti bintang kecil yang menghiburku di setiap malam aku mengalami kesedihan, sumber semangatku ketika aku merasa redup, dan temanku adik kecilku."
Tahu apa? Aku merasa itu puisi yang memang sudah dibuatnya sejak dulu. Namun ketika mendengarnya, rasanya dia memang menggambarkan perasaan yang sebenarnya dengan perumpamaan yang tepat.
"Kau tahu mengapa aku ingin bertemu denganmu, Kara? Aku ingin bicara... Dan sedari tadi kita belum memulai pembicaraan inti kita. Bisakah aku mulai sekarang?"
Kara membuka wajahnya. Dia mengangguk. "Jadi apa?"
---------------------------------
bersambung...
Nessun commento:
Posta un commento