CHAPTER IV
Hari terus berjalan, dan aku seperti kerasukan setan setiap pulang sekolah. Motivasiku untuk bekerja di kafe berubah dari mengisi waktu luang dan menambah uang jajan menjadi menemukan cerita baru. Selama empat bulan ini aku sudah duduk di balik meja bar bersama teman kerjaku, Lila menyaksikan bebagai hal yang terjadi di kafe ini.
Urutan rutinitas yang aku lalui setiap hari adalah seperti ini; bangun, pergi ke sekolah, bel pulang masuk ke angkutan umum, berhenti di kafe, ganti baju, siap-siap di belakang meja bar, dan terakhir menunggu pukul 16.20. Rutinitas yang terlihat sangat membosankan dan terus-terusan terjadi seperti rel kereta yang tidak ada ujungnya. Berputar seperti siklus. Tapi perlu kutambahkan dengan kapital keseluruhan bahwa aku MENUNGGU PELANGGAN BERNAMA KARA, MENYAJIKAN SECANGKIR TEH UNTUKNYA, dan MENYAKSIKAN DIA BERBICARA DENGAN LAWAN BICARANYA.
Aku telah siap di balik meja bar minuman. Tanganku mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, menatap ke arah jam dinding yang terus saja memutarkan jarumnya. Lila menyabetku dengan serbet sengaja sambil terkekeh, "Lo tuh kayak nungguin cowok lo yang dateng ngejemput tahu ga."
Aku membalas dengan mencibir. Setelah adegan emosional yang berujung bahagia tersebut aku menyaksikan lebih banyak kejadian standar. Dia berbicara dengan salah satu teman kuliahnya yang suka banget ngomongin cowok. Dia berbicara dengan salah satu teman lamanya yang suka sekali menggosip dan ngomong "boooo". Dia berbicara dengan salah seorang temannya sambil mengerjakan tugas kuliah. Yah dan begitu seterusnya. Pertanyaan dalam benakku, apa hari ini akan ada kejutan lagi?
Mungkin ada.
16.20
Meja yang telah di reservasi itu masih kosong. Aku nyaris mengutuk hariku. Teramat sangat membosankan menjalani rutinitas biasa dan apa yang aku tunggu-tunggu hari ini menjadi omong kosong. Ketika aku nyaris lengah berjalan ke arah Lila, aku mendengar pintu kafe terayun. Seorang gadis dengan wajah yang tidak asing lagi masuk. Kulitnya putih memucat, bibirnya kering terkatup putih. Kara sedang sakit?
Dia duduk di meja yang telah direservasinya. Lila berbisik sesuatu padaku, "Lo kayak orang jatuh cinta tau ga, Tan! Lesbi dasar!" Dan dengan tegas aku akan mencubitnya. Perlu di garis bawah, aku masih menyukai laki-laki.
Aku menunggunya cukup lama sampai akhirnya dia berjalan sendiri ke arahku dengan tampang letih. "Secangkir teh," ujarnya.
Aku memperhatikan gerak-geriknya. Ketika dia mengambil bill di tanganku. Ketika dia membayarnya di meja kasir. Dan ketika dia duduk kembali sambil menyeruput secangkir teh yang telah aku sajikan di mejanya. Kali ini gerakannya lambat sekali. Nyaris tidak bersemangat seperti biasanya.
17.00
Seorang pria berusia tidak jauh dari Kara masuk ke dalam kafe. Dia memakai kemeja necis dan celana bahan warna hitam. Sepatunya mengkilap. Rambutnya dibuat cepak pendek. Dan dia tampan.
Pria itu duduk di depan Kara. Menatapnya tenang lewat mata coklatnya yang penuh perhatian. Dan dia berkata, "Apakabar, dek?"
Urutan rutinitas yang aku lalui setiap hari adalah seperti ini; bangun, pergi ke sekolah, bel pulang masuk ke angkutan umum, berhenti di kafe, ganti baju, siap-siap di belakang meja bar, dan terakhir menunggu pukul 16.20. Rutinitas yang terlihat sangat membosankan dan terus-terusan terjadi seperti rel kereta yang tidak ada ujungnya. Berputar seperti siklus. Tapi perlu kutambahkan dengan kapital keseluruhan bahwa aku MENUNGGU PELANGGAN BERNAMA KARA, MENYAJIKAN SECANGKIR TEH UNTUKNYA, dan MENYAKSIKAN DIA BERBICARA DENGAN LAWAN BICARANYA.
Aku telah siap di balik meja bar minuman. Tanganku mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, menatap ke arah jam dinding yang terus saja memutarkan jarumnya. Lila menyabetku dengan serbet sengaja sambil terkekeh, "Lo tuh kayak nungguin cowok lo yang dateng ngejemput tahu ga."
Aku membalas dengan mencibir. Setelah adegan emosional yang berujung bahagia tersebut aku menyaksikan lebih banyak kejadian standar. Dia berbicara dengan salah satu teman kuliahnya yang suka banget ngomongin cowok. Dia berbicara dengan salah satu teman lamanya yang suka sekali menggosip dan ngomong "boooo". Dia berbicara dengan salah seorang temannya sambil mengerjakan tugas kuliah. Yah dan begitu seterusnya. Pertanyaan dalam benakku, apa hari ini akan ada kejutan lagi?
Mungkin ada.
16.20
Meja yang telah di reservasi itu masih kosong. Aku nyaris mengutuk hariku. Teramat sangat membosankan menjalani rutinitas biasa dan apa yang aku tunggu-tunggu hari ini menjadi omong kosong. Ketika aku nyaris lengah berjalan ke arah Lila, aku mendengar pintu kafe terayun. Seorang gadis dengan wajah yang tidak asing lagi masuk. Kulitnya putih memucat, bibirnya kering terkatup putih. Kara sedang sakit?
Dia duduk di meja yang telah direservasinya. Lila berbisik sesuatu padaku, "Lo kayak orang jatuh cinta tau ga, Tan! Lesbi dasar!" Dan dengan tegas aku akan mencubitnya. Perlu di garis bawah, aku masih menyukai laki-laki.
Aku menunggunya cukup lama sampai akhirnya dia berjalan sendiri ke arahku dengan tampang letih. "Secangkir teh," ujarnya.
Aku memperhatikan gerak-geriknya. Ketika dia mengambil bill di tanganku. Ketika dia membayarnya di meja kasir. Dan ketika dia duduk kembali sambil menyeruput secangkir teh yang telah aku sajikan di mejanya. Kali ini gerakannya lambat sekali. Nyaris tidak bersemangat seperti biasanya.
17.00
Seorang pria berusia tidak jauh dari Kara masuk ke dalam kafe. Dia memakai kemeja necis dan celana bahan warna hitam. Sepatunya mengkilap. Rambutnya dibuat cepak pendek. Dan dia tampan.
Pria itu duduk di depan Kara. Menatapnya tenang lewat mata coklatnya yang penuh perhatian. Dan dia berkata, "Apakabar, dek?"
----------------------------------
bersambung...
Nessun commento:
Posta un commento