martedì 22 maggio 2012

Sosok di Tengah Api


 “Pantang pulang sebelum padam, walau nyawa taruhannya.” Sebuah motto penggerak dan tujuan profesi. Para pasukan pemadam kebakaran akan selalu hadir untuk masyarakat. Hanya air, hati ikhlas, dan keyakinan sebagai senjata untuk menghadapi si jago merah.

Bagi M. Saifuddin (28) berada di tengah kobaran api adalah kewajiban sekaligus resiko. Delapan tahun berprofesi sebagai pemadam kebakaran belum pernah menyurutkan api di dalam hatinya untuk mengabdi kepada masyarakat.
Terlahir dengan ayah seorang pemadam kebakaran membuat Saifuddin tidak asing dengan profesi yang digelutinya saat ini. Selepas lulus SMA ia langsung mengikuti tes masuk pemadam kebakaran. Ia menempuh pelatihan selama tiga tahun sampai akhirnya pada tahun 2004 resmi bergabung dalam pasukan.
Beberapa musibah kebakaran di sekitar Jakarta pernah ditanganinya. Beragam pengalaman  pun sudah di dapatkan. Meskipun belum pernah cedera, Saifuddin selalu bersikap waspada dalam bertugas. Saat ini Saifuddin bertugas di Sektor Rawamangun, Jakarta Timur.
Menurut rekan satu kompinya, Dadang, Saifuddin dikenal ramah dan suka menolong.  

Pahlawan Tak Dikenal
Saifuddin tidak pernah bercita-cita untuk menjadi pemadam kebakaran. “Orang bilang harus punya cita-cita setinggi langit. Cita-cita saya juga setinggi langit. Namun pada akhirnya saya harus menggapai sesuatu yang lebih dekat,” tuturnya sambil tersenyum.
Lahir dan tumbuh di Jakarta serta pernah mengenyam pendidikan di sekolah favorit tidak membentuknya menjadi pengejar uang. Berstatus PNS Golongan 2A, pemadam kebakaran bukanlah profesi dengan gaji yang besar. Saifuddin mengaku bekerja dengan hati yang ikhlas. Walau kadang jauh dari anak dan istri, ia tetap merasa senang dengan pekerjaannya. Baginya suatu kebanggaan bisa menjadi pelayan masyarakat.
Saifuddin menganggap menjadi pemadam kebakaran adalah bagian dari ibadah. Pekerjaan ini juga merupakan salah satu bentuk balas jasa kepada masyarakat. “Bukan masyarakat yang membutuhkan kami, tetapi kami yang sebenarnya membutuhkan masyarakat,” ujarnya.
Tugas pemadam kebakaran sebenarnya dibagi ke dalam tiga rangkaian yaitu pencegahan, pemadaman, dan penyelamatan. Untuk penyelamatan, ranah tugasnya pada bencana alam dan hal-hal kecil. “Kalau ada kucing yang tidak bisa turun dari genteng, kami bersedia dihubungi untuk menyelamatkan,” kata Saifuddin. Sedangkan untuk tugas pencegahan, pemadam kebakaran sering mengadakan sosialisasi ke tingkat RT hingga kelurahan dan ke sekolah-sekolah dari jenjang SD hingga SMA.
Tidak takut akan api juga menampilkannya sebagai sosok yang pemberani. Tanpa disadari orang-orang merasa aman jika berada di dekat pemadam kebakaran. Bahkan Saifuddin mengaku ia dan teman-temanya pernah ditawari menjadi menantu oleh tetangga-tetangga mereka. Ini merupakan sisi lain yang menarik bagi Saifuddin
Ia mengharapkan masyarakat tidak segan untuk meminta bantuan kepada pemadam kebakaran. Mereka akan siap siaga hadir untuk membantu dalam usaha pemadaman dan penyelamatan. Saifuddin menjamin bahwa sebagai pelayan masyarakat, mereka bersih dari praktik pungutan liar. Ia juga bersedia dikritik dan diberikan sanksi jika dinilai lalai oleh masyarakat.

Pemerintah Peduli
Pemadam Kebakaran berada di bawah Pemerintah Daerah. Hanya urusan pelatihan anggota saja yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Dahulu upah pemadam kebakaran hanya Rp 12.500,00 per bulan. Namun sejak Presiden Abdurrahman Wahid menjabat, kesejahteraan para pekerja mulai diperhatikan termasuk pemadam kebakaran. Sewaktu Saifuddin masuk, gajinya sebesar Rp 750.000,00. Berjalan seiring dengan adanya kebijakan Upah Minimum Regional (UMR), gaji yang didapatnya sudah setara UMR dilengkapi dengan berbagai tunjangan dan asuransi.
“Saya cuma bisa bilang gaji saya cukup,” jawab Saifuddin yakin. Ia dan rekan-rekannya tidak mengeluhkan gaji karena mereka merasakan bahwa pemerintah sudah memfasilitasi dengan baik.
Pemadam kebakaran layaknya sahabat masyarakat. Karena sahabat selalu bersedia membantu ketika musibah datang. Saifuddin mengharapkan akan ada lebih banyak pemuda yang mau menjalani profesi ini. Uang hanyalah setitik debu bila dibandingkan dengan pahala menyelamatkan sebuah nyawa.

Aninta Ekanila
Mahasiswi Ilmu Komunikasi (Jurnalisme), FISIP  UI 2011

***
Feature ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Dasar-Dasar Penulisan.
Sejujurnya apa yang saya dapat lebih dari ini, tetapi sesuai anglenya  yang disorot adalah prinsip tokoh untuk tetap mengabdi kepada masyarakat.
Karena saya masih baru belajar dan perlu banyak belajar yang saya harapkan di sini bukan orang nilai bagus tidaknya tulisan, tetapi informasi tentang tokoh yg ada di dalamnya.
Eh ya, kritik dan saran yang berhubungan dengan penulisan diterima banget lho. Mungkin tentang pemilihan gagasan,  tanda baca dan EYD, atau yang lainnya.
Terimakasih sudah mau membaca :)

domenica 6 maggio 2012

Akhir-Akhir Ini

Mengapa hidup menjadi sangat-sangat susah belakangan ini?
Mungkin karena sudah seharusnya di jenjang usia yang sudah jauh lebih dewasa, gue menghadapi pendewasaan. Nyatanya gue masih belum bisa mengantisipasi bahkan mencari solusi terbaik. Apa gue yang masih belum dewasa?
Ya ga ada indikator pastinya sih.
Tapi dari apa yang pernah gue lakukan, gue katakan, dan gue buat.

Sebenarnya beberapa hari ini gue lagi mabok semabok-maboknya orang mabok.
Kayaknya pengen nangis, tapi menyesal kan bukan gaya gue. *ceilah belagu lo nin*
Mau share sedikit aja, belakangan ini gue suka bengong dan ngerasa jalan sambil tidur. Padahal sebenarnya gue benar-benar lagi menginjakkan kaki keluar rumah dan menuju kampus. Tetapi rasanya mata gue blur dan badan gue kelewat enteng. Otak gue berasa kosong, tapi sebenarnya lagi bergumul dan kadang-kadang bikin gue meleng wkwkwk.

Gue tahu persis apa yang gue kejar di hidup gue. Mungkin bisa dibilang kebahagiaan. Ga pernah ada bentuk nyata persis seperti cita-cita "dokter" atau "presiden".
Somehow, gue cuma berpikir supaya gue jadi orang yang berguna.
Gue pengen jadi penulis, jurnalis, bahkan ibu dan istri yang baik. Sampai sekarang pun itu yang sangat gue inginkan.
Tapi belakangan ini gue suka bingung, apa gunanya itu semua kalau cuma buat diri gue sendiri?

Ya gue sedih kalau bahagiain diri sendiri aja belum bisa, tapi mau sok-sokan bahagiain orang lain.
Sayangnya, gue kepengen hidup ga cuma buat diri gue sendiri. Gue pengen jadi orang yang hadir dan dibutuhkan orang lain. Gue pengen ngebahagiain banyak orang.
Gue ga tahu dari mana asalnya pemikiran kayak gini. Rada ganggu sih kadang-kadang gue jadi mikir gimana caranya gue bantu orang lain, modalnya apa, apa yang gue butuhkan. Kadang membuat gue stress. Tapi ngebayangin kalau semua terealisasi itu sungguh sesuatu yang melegakan. Ngebayanginnya aja melegakan, apalagi beneran terjadi.

Sedikit banyak mungkin gue terpengaruh pacar gue yang seriously, he's better than anyone else. Gue bersyukur bisa punya orang sehebat dia di sisi gue saat ini.
Sedikit banyak juga mungkin gue kecemplung di tempat yang sangat komplit untuk belajar. Oke singkirkan label nama universitas dan embel-embel yang mengikutinya. Di sini gue ketemu orang-orang baru, masalah-masalah baru, kehidupan yang lebih kompleks, pembelajaran informal yang sulit didapatkan di tempat lain, dan kepedulian.
Gue menemukan orang yang punya cita-cita sama kayak gue. Gue menemukan sebuah cerita yang membuat gue lebih termotivasi. Gue menemukan sebuah pengalaman yang orang lain mungkin nggak bisa dapatkan di tempat mereka sekarang.
Gue sih bukan orang yang berhasil-berhasil amat. Tapi setidaknya gue sangat berharap apa yang gue dapat saat ini bisa menjadikan gue orang yang berhasil suatu hari nanti.

Akhir-akhir ini gue berpikiran, untuk menjadi orang yang benar-benar berhasil bagi diri gue sendiri dan juga orang lain. Insya Allah, orang tua, keluarga besar, pendamping hidup, teman-teman, bahkan anak-anak gue nanti bisa bangga sama gue. Amiin...

Btw buat @ainibestari, thanks banget cerita-cerita soal pendidikannya, mudah-mudahan visi kita tercapai ya. Ayo kerja keras!!!