martedì 10 agosto 2010

#Secangkir Teh

CHAPTER III

Ini hari libur yang cukup sibuk bagi seluruh warga kota. Hawa panas di luar sana tidak menghalangi para pecinta waktu menghabiskan waktu luang. Mereka berlalu lalang entah pergi ke mana dengan pakaian-pakaian terbaik mereka.

Aku tidak bekerja hari ini. Lila pun begitu. Digantikan dengan dua orang yang entah siapa aku juga tidak kenal, mungkin karyawan baru yang dipanggil setiap hari libur. Tapi aku datang siang ini karena aku bosan berada di rumah. Jadi aku membawa seluruh tugasku dan duduk di satu meja dengan satu kursi kosong, mengaktifkan laptopku dan menggunakan fasilitas wi-fi kafe kakakku ini.

Tempatku duduk menghadap jendela dan tepat tertuju pada trotoar yang penuh dengan manusia-manusia yang berlalu lalang. Dan terkadang aku dapat menyaksikan kemacetan yang menjadi ketika sebuah mobil yang tadinya di parkir ingin keluar dan bentrok dengan mobil-mobil lain yang masih ingin terus berjalan. Sungguh ini sebuah kenikmatan tersendiri bagi seseorang seperti diriku.

Kota ini mungkin terlalu sesak dan terlalu penuh. Terlalu metropolitan dan bahkan mungkin terlalu 'gaul' dan mendekati norak. Tapi banyak hal menarik yang membuat perhatianku tercuri. Termasuk sore ini. Pukul 16.19.

Aku sedang mendengarkan bersenandung sesuai dengan lagu yang menggaung dari earphone. Dan seperti biasa, setiap beberapa menit mataku akan teralih menatap jalanan di balik jendela kafe. Seorang gadis dengan rambut panjang, terusan floral, sepatu kanvas warna abu-abu, jaket kulit warna coklat dan tas warna merah marun lewat di hadapanku. Aku mengikuti geraknya hingga masuk ke dalam kafe dari pintu masuk, dan aku melirik jam tepat 16.20.

Dia berjalan. Aku mengalihkan pandangan. Melepas earphoneku cepat dan melirik dari ekor mataku. Dia memesan sesuatu di meja bar minuman. Membayar di kasir dan dia duduk di meja yang biasa. Meja dengan tulisan RESERVED di atasnya. Dan yang baru aku sadari meja itu cukup dekat jaraknya dengan mejaku.

Tak lama kemudian secangkir teh diantarkan untuknya. Aku mendengar dia mendengus. Sepertinya itu pentahbisan setelah melewati banyak masalah hari ini. Aku sudah tidak bisa menghitung lagi sudah berapa sering di kembali kemari. Setiap hari. Dan aku lupa ini sudah hari ke berapa. Dan sudah berapa orang yang bertemu dengannya.

Aku kembali fokus pada tugasku. Tapi aku tidak memasang earphoneku kembali. Entah mengapa jika Kara sudah duduk di tempatnya. Seperti ada magnet tersendiri yang memintaku untuk mendengarnya.

Gerak selanjutnya, Kara menuju meja bar makanan dan memesan. Kembali membayar di kasir. Dan tidak lama kemudian sebuah tenderloin steak datang ke mejanya. Bersamaan dengan seseorang yang masuk lewat pintu masuk kafe. Seorang gadis dengan mata sembap dan wajah cantik yang sekarang nampak kacau.

"Kara...," rengeknya. Dan dia datang memeluk Kara erat dan tiba-tiba menangis dengan sesenggukan pelan.

---------------------------
bersambung...

Nessun commento:

Posta un commento