martedì 14 settembre 2010

LAMPU LATAR

PROLOG

Aku berdiri di bawah lampu latar. Mungkinini sekedar mimpi yang aku rindukan atau mungkin memang benar ini yang aku butuhkan. Aku terlalu lama berdiri di bawah lampu latar ini. Ingin rasanya sembunyi dan memilih untuk turun panggung.

Tapi berada di sini menyenangkan. Kita tidak akan pernah tahu rahasianya seseorang berhasil berada di panggung ini. Sampai akhirnya kita sendiri yang berada di sini. Bukan atas nama baik keluarga, tetapi sesuatu yang disebut reputasi. Jawaban atas sebuah keyakinan yang aku emban.

BAB I

Ada tiga wanita dalam keluarga ini. Ibuku, kakakku, dan aku. Namaku Sharmaleen Gawitri Bagya--entah apa artinya nama aneh tersebut. Kami adalah para wanita dari wangsa Bagya. Bagian dari keluarga sosialita yang mungkin seharusnya statusnya sudah tergeser.

Ayahku bercerai dengan ibuku tiga tahun yang lalu. Saat itu aku baru berusia 15 tahun. Setelah itu sebenarnya tidak ada satupun penerus nama Bagya lagi dalam keluarga kecil kami. Karena ibuku tidak melahirkan anak laki-laki. Namun ibuku seakan masih ingin terus berada di bawah bendera keluarga ini. Atau setidaknya untuk tetap terus berada di antara kaum sosialita.

Ibuku hanya seorang pemilik butik. Usahanya biasa saja, tetapi pergaulannya luar biasa. Statusnya sebagai seorang Bagya-lah yang membuatnya memiliki banyak relasi. Beliau ikut dalam arisan-arisan dengan istri para pejabat dan pengusaha. Hadir dalam setiap acara pesta elite. Juga tetap aktif cari muka di depan anggota keluarga Bagya lainnya. Mungkin sebenarnya ibu sedang berada pada tubir kebangkrutan karena perilaku konsumtif dan kesukaannya memamerkan kekayaan. Tapi segala hal yang dilakukannya di atas hampir selalu menyelamatkannya dari ancaman kebangkrutan.

"Kamu, mama jemput jam tujuh di rumah eyang, Sharma. Mama harap kamu sudah terima gaun baru yagn mama titip ke Bi Atun dua hari yang lalu," celoteh ibuku di telepon tadi malam.
"Yang warnanya ultramarine? Iya udah," tanggapku ogah-ogahan.
"Mama mau lihat kamu tampil cantik, Sharma. Mama mau semua teman mama lihat salah satu keturunan Bagya yang sempurna."

Aku memutar bola mataku dan menyanggupinya. Menutup telepon dan tertidur. Dan pagi ini aku berdiri di depan lemari pakaianku. Eyang Putri Bagya berada di sampingku.

Aku tinggal bersama eyang putri sejak orang tuaku bercerai. Eyang yang meminta aku tinggal bersamanya. Eyang putri tinggal sendirian di rumah sebesar istana ini. Ditemani tiga orang pembantu yang usianya nyaris setua eyang. Cucu eyang sebenarnya tidak hanya aku. Tetapi karena eyang tidak suka aku tinggal dengan ibu jadilah aku menemaninya sampai sekarang.

"Kamu dan ibumu saja nanti malam?" tanya eyang.
"Tidak tahu. Mungkin Mbak Ranggi nanti datang bersama suaminya," jawabku sembari mengelus bahan gaun yang akan aku pakai nanti malam.

Eyang membelai rambut panjang ikalku, "Ini pesta pertamamu, cah ayu?"
Aku menoleh menatap eyang, "Iya. Aku bersedia ikut karena diadakan di butik baru Tante Gendis, eyang. Mama bilang akan ada banyak perancang busana juga yang akan datang ke sana. Eyang tahu kan..."
"Ya, kamu ingin melihat cara mereka bergaul dan kehidupan mereka..."
"Juga bicara dengan mereka. Aku ingin menjadi seorang perancang busana dan punya butik sendiri."

Eyang menyentuh pundakku dan menarikku untuk menatapnya. Wanita senja berusia 70-an ini masih nampak ayu dan anggun. Keriput di wajahnya menunjukkan garis-garis waktu masa jayanya yang penuh pesona dan kebijaksanaan. Uban putih di mahkota kepalanya menunjukka beban pikirannya membesarkan anak-anak keluarga Bagya. Dan tangannya yang menyampir padaku menunjukkan betapa sayangnya pada kami semua.

Eyang putri menatapku lekat dan berkata, "Munkin ini saatnya kamu megnerti, Sharma bahwa menjadi seorang Bagya itu terlalu mudah. Diakui sebagai Bagya juga terlalu mudah. Satu hal yang sulit, menjadi dirimu sendiri."

Aku tidak mengerti apa yang eyang putri maksud. Aku memang bukan Bagya lagi, tapi aku tetap cucu eyang. Apa maksud eyang berkata seperti itu untuk mengusirku perlahan dari keluarga ini?

"Jangan pasang wajah bersungut seperti itu, cah ayu...," goda eyang sambil menyapu hidungku dengan telunjuknya. "Kamu harus bisa menjadi Sharmaleen Gawitri-mu sendiri. Keluar dari bayang-bayang bagya dan mewujudkan mimpimu sendiri. Itu baru seorang wanita Bagya. Bukannya gadis yang akan menikah dengan pengusaha kaya demi reputasi kasta atau wanita yang aktif tampil di pesta para sosialita. Eyang tidak pernah mengajari itu."

Aku tersenyum menatap mata coklat eyang yang bersinar penuh harap menatapku. Eyang membuang nafas, mengelus lembut pundakku dan berkata, "Eyang harap kamu lebih berani dari Ranggauni saat pesta pertamamu. Kita tidak pernah tahu apa yang ibumu rencanakan pada anak-anak gadisnya... Huh eyang sering kecewa dengan sikap ibumu."

"Eyaaanng sudahlah...," mohonku agar Eyang berhenti mencemooh ibuku. "Mama memang tukang pamer. Tapi mama tetap orang yagn melahirkan dan membesarkan aku. Eyang percaya deh, Sharma bisa jaga diri."

Eyagn mengangguk perlahan. Beliau mengelus rambutku lembut dan keluar dari kamarku. Kini aku sendiri di hadapan gaun tersebut. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Empat jam lagi ibuku datang menjemput. Sejenak aku menatap pantulan diriku di cermin yang terdapat di balik pintu lemari yang terbuka. Dan aku teringat sedikit kalimat-kalimat eyang tadi.

Mbak Ranggi atau Ranggauni Gasantri Bagya. Kakakku duu juga sempat tinggal bersamaku dan eyang. Walau hanya selama tiga bulan. Karena dia tidak tega meninggalkan ibu kami sendirian di apartemennya. Padahal ibu juga tidak memintanya. Ibu hanya kelewat sering menghubungi kami, tapi hanya untuk tahu kabar. Beliau terlalu sibuk untuk berada di rumah dan mencurahkan seluruh kasih sayang pada kami. Sedangkan Mbak Ranggi yang kala itu masih 18 tahun memutuskan bahwa dia harus tinggal bersama ibu dan membuat ibu senang, karena setelah perceraian kondisi ibu sangat memprihatinkan.

Aku memandang dan mengeluarkan gaun ultramarine itu dari lemariku. Eyang berbicara sesuatu mengenai pesta dan Mbak Ranggi tadi. Dan aku ingat sesuatu tentang kedua hal itu. Mbak Ranggi juga pergi ke pesta sosialita waktu usianya 18 tahun. Pertama kali dalam hidupnya mengenal semua 'orang itu'. Setelah lama disembunyikan oleh kedua orang tuaku. Pada hari itu aku kehilangan kakak perempuanku. Karena dia 180 derajat telah berubah.

* * *
"Dreet... dreet..."
Ponselku bergetar di meja rias. Aku sedang berkaca terakhir kali untuk memastikan penampilanku baik-baik saja malam ini. Dan ibuku menelepon. Aku menghela nafas sekali dan mengangkatnya.
"Ya ma...?" sapaku.
"Kamu sudah siap? Mama sudah di depan gerbang rumah eyang. Cepat ya! Mama tunggu atau kita terjebak macet di Kuningan. Pasti kamu tidak mau terlambat ke pesta pertamamu kan?" cerocos ibu.

Aku memungut purse berwarna violet dari meja riasku dan memasukkan ponselku ke dalamnya. Aku mencoba membiasakan berjalan anggun dengan hak tinggi saat keluar dari kamar. Berpamitan dengan eyang putri yagn sedang membaca buku di ruang kerjanya dan pergi menuju mobil ibuku.

"Hello darling!" sambut ibu ketika aku duduk di sampingnya. Ibu malah mengecup kedua sisi pipiku ketika aku hendak mencium tangannya seperti yang eyang selalu ajarkan. "Apakabarmu?"

"Baik," jawabku berusaha bersamangat. Sudah lebih dari sebulan sejak terakhir kali aku bertemu ibuku pada acara makan siang rutin kami setiap bulna. "Mama sendiri?"

Mobil mulai berjalan. Dalam keremangan aku dapat melihat rona muda ibuku masih terpancar. "Tentu saja baik, nak!" Wanita di awal 45 tahun ini selalu seperti itu. Aku tahu ibu bohong, ibu sedang tidak baik-baik saja.

Ibuku seharusnya menjadi sumber inspirasi anak-anaknya karena memang begitu seharusnya seorang ibu. Sewaktu kecil aku ingin seperti ibuku, punya butik sendiri. Ibu yang memperkenalkanku dengan fashion dan mode. Tapi lebih dari itu aku sadar ibuku bukan sosok yang aku butuhkan untuk menyayangiku. Karena beliau tidak pernah punya waktu untuk sekedar mengecup keningku di waktu malam.

"Sini coba mama lihat!" seru ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. "Nah kan kamu terlihat sangat cantik dengan gaun ini. Ini rancangan desainer Maura Sultan lho." Aku sedikit tersentak mendengara nama desainer idolaku disebut ibu. "Mama dekat dengannya beberapa bulan ini. Nanti dia juga akan hadir di pesta."

Ibuku lalu terdiam sambil tersenyum dan mengalihkan kembali pandangannya ke jalanan malam Jakarta. Aku baru sadar salah satu tangannya menepuk-nepuk tanganku yang terkatup di pangkuanku. Sejenak aku ingin memeluk ibuku erat menunjukkan bahwa aku merindukannya.

"Kamu lebih cantik dari Ranggi saat dia pertama kali datang ke pesta," kenang ibu. Beliau menoleh menatapku. Matanya terlihat berkilau ditempa temaram lampu jalanan di luar sana. "Ini hari pertamamu mengenal dunia kita. Sebuah jalan pintas meraih impian."

Aku hanya mencibir dalam senyum tipuku. bukan ma, ini hari di mana aku harus memilih di usia dewasaku. Tetap dengan keyakinanku atau jatuh pada tipu daya bayangan Bagya lagi.

----------------------------------------------

NB: selanjutnya tunggu di novelnya yaaaa... secara rutin bakalan saya update di blog deh perkembangan novel ini okeee!!


2 commenti:

  1. bagus kok nin, totally almost perfect, tinggal ngembangin, asik :) Keep working hard, dear!

    RispondiElimina
  2. Udah lama nggak ngikutin karya-karya lo, yang ternyata semakin lama semakin melesat bagusnya! Semangat yaa Ninta! I do love your works :)

    RispondiElimina