Dua kakak beradik itu sama-sama terdiam. Sang kakak memandang adiknya teduh dan khawatir. Sedangkan adiknya terdiam menunduk dan terlihat ingin menangis. Pipinya merona merah. Aku dapat melihat dengan jelas dari samping, bahwa wajah mereka nyaris serupa. Namun Kimi terlihat seperti miniatur cilik tubuh Kara.
Kimi menengadah menatap kakaknya. "Kenapa papa dan kakak ga bisa tinggal satu rumah sama aku dan mama lagi sih?" tanyanya lugu.
Kara mendengus. "Ada banyak hal yang sebaiknya tidak kamu ketahui Kimi sayang. Kalau kakak boleh memilih kakak lebih suka tidak mengetahui alasannya."
"Aku nggak ngerti," tanggap Kimi sembari menggelengkan kepalanya.
Kara tersenyum. "Kamu mau makan apa, sayang? Kakak beliin fusili tuna mau? Emang sih bukan kakak yang buat kayak dulu, tapi rasanya sama enaknya kok. Mau ya sayang mau ya..."
Kimi mengangguk antusias. Begitulah caranya menenangkan seorang anak kecil yang hendak menangis. Berikan mereka sesuatu yang mereka suka. Maka Kara berjalan ke arah bar makanan dan memesan di sana. Lalu beberapa menit kemudian dia kembali dan mendapati adiknya tengah menunggu dengan kaki yang bergoyang-goyang kembali.
Aku pergi sebentar untuk melayani pembeli. Dan ketika aku kembali ke meja barku, aku menyaksikan Kimi menyantap fusilinya dengan semangat sambil bercerita banyak hal kepada kakaknya.
"Di sekolahan aku sekarang ada anak baru kak, namanya Theo dan dia anaknya usil banget. Sukanya ngisengin anak-anak cewek gitu. Genit banget ih. Padahal udah umur delapan tahun masih suka buka-bukain rok anak cewek," cerocos Kimi dengan mulut penuh makanan.
"Ah yang bener kamu... hahaha... kamu nggak pernah kan digituin?"
"Ga kak! Aku selalu megangin rokku kalo jalan. Apalagi kalau ada di deket Theo. Waktu itu aku aduin Theo ke Bu Ida. Sukurin kak dia di hukum, orang tuanya dipanggil!"
Mereka terdiam. Kara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Matanya menyiratkan kerinduan pada adiknya yang sedang lahap menyantap fusili. Aku memperhatikan mereka, dan Lila ikut bergabung di sampingku.
"Emmm mama baik-baik saja, Kimi?" tanya Kara membuka obrolan.
"Baik!" jawab Kimi masih tetap asik menyantap fusili.
"Ella bisa jadi kakak yang asik kan, Kimi?" tanya Kara lagi.
Kimi menatap kakaknya dan bibirnya berkerut tiba-tiba. Anak perempuan itu cemberut di tempat. Masih dengan menggoyang-goyangkan kakinya ke depan dan ke belakang, dia menyender ke kursinya. Melipat kedua tangannya di depan dada. Dia terlihat sebal.
"Kenapa Kimi?" tanya Kara.
"Aku benci kakak baruku!"