sabato 12 febbraio 2011

Dear, Pemerintah RI

Assalamualaikum wr. wb.

Selamat malam, pak. Sudah lama lho saya pengen nulis surat buat bapak. Meskipun saya tahu sedikit banget waktu bapak untuk buka internet nyari tahu keluhan masyarakat, apalagi baca surat dari salah satu pelajar KELAS 3 SMA yang namanya pun susah dicari di catatan sipil. Maaf lho pak, weekend gini saya ngasih surat ke bapak, biasanya surat juga bapak taruh di meja gitu aja kan kalo dari orang ga jelas yang maunya apa. Tapi pak di sini saya punya kemauan saya mau bapak tahu sebuah curahan hati, pak. Yang mau saya ingatkan di sini pak saya masih awam, di luar sana ribuan pelajar juga masih sangat awam dan hijau. Di sini saya mengeluarkan keluh kesah karena keawaman jikalau bapak memang lebih tinggi dan begitulah seharusnya seseorang yang berada di tampuk pemerintahan hendaknya berikan kami sedikit sosialisasi dan keyakinan.

Pertama pak nama saya Aninta Ekanila, pak. Kalau bapak mau cari saya, saya ada di SMAN 54 JAKARTA kelas 12 IPS 4. Kan katanya Indonesia negara demokrasi, jd sebelum kebebasan berpendapat itu dilarang lagi saya mau cerita nih pak. Jadi kan ya, bapak bikin peraturan baru soal pendidikan ya, pak. Saya udah denger lho trus saya udah mematuhinya. Jadinya pas saya dikasih undangan buat SNMPTN UNDANGAN saya ga nolak pak. Tapi menyadari sesuatu yang akhirnya menjadi bahan diskusi banyak orang yang terlebih dulu menyadarinya, saya jadi sedih pak. Kok rasanya peraturannya jadi merugikan kami ya, pak.

Saya perkecil lagi deh pokok bahasannya. Saya membahas soal JALUR MASUK PTN, pak. Saya tambahin emote ya pak, "JALUR MASUK PTN :')". Saya tahu pemerintah punya kalkulasinya sendiri untuk mengeluarkan sebuah kebijakan, tidak mungkin tidak berdasar, dan pasti mengharapkan sebuah perbaikan. Tapi pernahkah bapak sadar, kami sudah bosan jadi kelinci percobaan pemerintah? Di tahun kami 2011 ini, pemerintah berkali-kali mengubah kebijakannya. Arahnya tak jelas. Dan keputusan yang labil itu akhirnya diputuskan dan sosialisasinya terasa menjadi sebuah dadakan.

Saya sedikit agak sensi nih pak sama jalur undangan. Bukan sirik pak. Tapi saya ngerasa ini jalur paling ga adil yang pernah ada. Kalau saya boleh mengistilahkan ini seperti jalur IMING-IMING BIAR SENENG. Kita jadi anak kecil yang nangis-nangis dan bapak jadi si orang baik yang akan memberikan permen sambil berkata, "udah ya jangan nangis lagi, nanti kamu juga dapat hadiah kok." Miris ya. Kok bisa sih saya menganggap seperti itu? Masalahnya pak, kami merasa ini keputusan yang tidak melibatkan emosi dan keinginan sebagian besar pelajar di SMA.

Seorang teman saya bercerita di twitter *itulho pak microblogging yang lagi happening banget*, waktu SMP guru-guru menyemangati siswanya dengan berkata: "Tidak masalah masuk SMA manapun. yang penting di SIMAKnya lulus." terus guru-guru SMA wkt kita kelas 10 berkata: "ayo belajar dari sekarang biar SNMPTN-nya berhasil." Sekarang kenyataannya guru BK kelas 3 berkata: "yah coba pilih universitas yang ga terlalu diminati biar kans kalian masuknya gede. contoh jurusan kebidanan, kesmas, dll" Miris ya, Pak. Seperti mimpi yang sudah dibangun lalu dijatuhkan lagi. bagi mereka yang menyiapkan diri untuk PMDK itu bukan lagi menjadi masalah, nilai mencukupi mereka tinggal duduk tenang di depan komputer di hari pengumuman. Kalau mereka gagal itu mungkin karena nilai belum cukup, tapi mereka tahu mereka tidak salah menentukan pilihan lalu bagaimana dengan yang tidak?

SNMPTN Undangan merancukan berbagai hal yang menjadi drama pendidikan. PMDK itu jelas setiap sekolah diberi kuota, kriteria yang jelas, dan persaingan khusus yang jelas. Tapi sekarang semua menjadi umum. Mungkin bagi teman-teman saya yang rankingnya bagus nilainya bagus dari kelas 10 itu bukan menjadi masalah, tapi bagi teman-teman saya yang berada di 20 besar (btw, sekolah saya AKREDITASI A jadinya jatahnya 50% per kelas pak kayak di peraturan) dan nilai mereka juga standar udah gitu sekolahnya biasa aja? Apa ga akan kalah saing pak? Yang ada di peringkat atas aja masih deg deg an karena takut kalah saing dengan sekolah unggulan. kan kita ga tahu sistem penilaian tiap PTN. apalagi tiap PTN pasti menginginkan putra-putri terbaik bangsa yang ada di bangku mereka. Ini mungkin soal kemajuan pendidikan pak, tapi berhak kah kami ada di PTN yang kami inginkan dengan nilai kami? Kami seperti orang-orang yang tidak diijinkan berusaha lagi. Seperti di PHP-in dan akhirnya harus memilih tetap pada keinginan atau menatap kenyataan, menggagalkan keadaan, dan akhirnya memilih jalan lain.

Teman saya hari ini menangis pak. Dan salah satu kalimatnya berkata "Lo sih enak, ta. Nilai lo dari kelas 10 bagus-bagus begitu. Pasti tenang kan. Pasti udah milih yang paling bagus." Saya merasa menjadi si pemeran antagonis di sini pak. Bapak tahu rasa gaenaknya jadi pemeran antagonis. Ketika kita ikut bersimpati, ketika ga da orang yang tahu bahwa kita merasakan ketakutan yang sama dengan mereka, dan akhirnya kita malah diberi pernyataan bahwa kitalah penyebab kepesimisan mereka. dan jawaban apapun membuat saya akan tetap terlihat munafik.

Dalam keadaan nilai yg menurut orang-orang aja udah baik banget aja saya masih merasa bimbang pak. Apakah saya akan lulus dan jadi mahasiswi UNIVERSITAS INDONESIA? Dengan banyaknya lawan2 saya yg nilainya akan lebih tinggi, dari sekolah RSBI, dan segudang prestasi? Saya merasa menjadi ikan kecil di tengah lautan luas yang diberi kesempatan hanya untuk menunggu bukan untuk berenang. Trus saya disuruh pilih di luar itu? Kalau saya ga comfort sama universitasnya gimana? Ya ga salah juga sih bisa aja saya milih unbraw, undip, unhas, uncen sekalian bisa aja. apa yang menghalangi seseorang untuk mengejar sesuatu. tapi setiap orang punya kriteria sendiri di mana dia akan menambatkan hatinya.

Mungkin ini cuma suara saya pak. Saya curhat atas nama saya. Tapi jika ada banyak orang yang berpikiran sama seperti saya, Pak...saya harap suatu hari nanti bapak bisa membuat sebuah kebijakan yang melihat ke bawah. Menatap para siswa dan pelajar. Kami berasal dari strata kemampuan pendidikan yang berbeda. Para siswa di stratifikasi di kelasnya sendiri, di stratifikasi di sekolahnya sendiri, kemudian sekolah mereka di stratifikasi oleh pemerintah. Kami memiliki kemampuan yang berbeda. Kami memiliki daya yang berbeda. Kami memiliki usaha yang berbeda. Kami memiliki fokus dan keputusan yang berbeda. Satu yang menyamakan kami pak, KAMI MENGINGINKAN PENDIDIKAN TERBAIK. Pendidikan terbaik bukan dari bagaimana sebuah universitas menjaring pesertanya, tapi dari bagaimana mereka menilai bahwa setiap siswa berhak mendapatkan hak mereka. Wajar kalau kami tidak memilih PTN yang tidak kami inginkan. Wajar kalau kami memilih PTN yang kami anggap unggul. Dan wajar jika kami berusaha dari sebuah ujian yang kami persiapkan, wajar jika kami menyiapkan nilai bagi mereka yang memang niat dan merasa mampu sejak awal, dan sangat tidak wajar bagi kami sekarang harus dipatahkan semangatnya karena sebagian besar orang memandang kami tidak memiliki kesempatan hanya karena nilai kami yang kurang di semester sebelumnya.

Sebenarnya jika sistem seperti ini disosialisasi sejak kami masih sangat-sangat-sangat awal di SMA, tidak akan ada rasa kecewa dan pesimis seperti ini. waktu ga bisa diputar untuk mengubah nilai. Kami harus membuat keputusan segera. keputusan yang menurut peraturan yang pemerintah buat tetap akan meningkatkan pendidikan. bagi sebagian orang, mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sebagiannya, akan berusaha sampai titik darah penghabisan mereka dan keringat yang paling terakhir mengucur. Saya minta doa bapak ya... Anak-anakmu, Generasi Muda Indonesia sedang berjuang.

Mungkin terlihat saya gada gunanya nulis beginian. Tapi saya gatau lagi harus nangis ke mana. Saya bosan mendengar orang bilang "udah cari aja PTN daerah." dan saya bosan mendengar "yang penting kamu fokus mencari universitas." bunuh diri! mending saya masuk swasta. tapi saya sudah berjalan sejauh ini, bahkan usaha saya masih sangat minim tiba-tiba saya sudah masuk ke babak penentuan yang tidak saya tahu awalnya di mana.

Jika bapak berpikir telah memberikan keputusan yang terbaik, bagi saya ini membuat saya menangis. Terimakasih pak. Malam ini saya tidak punya teman cerita. Malam ini saya hanya bertemankan blog saya. Dan malam ini saya hanya berharap bapak membaca surat ini. Tapi saya tahu, orang tidak akan buang-buang waktu sekedar untuk menengok tulisan saya. Atau mungkin di balik sana ada yang akan menghubungi saya dan bilang "ngapain lo nulis begituan." Kali ini saya menulis untuk diri saya sendiri pak, supaya bapak tahu saya mewakili diri saya sendiri. Bahwa saya tidak suka dengan sistem ini.

Demikian, pak. Apa yang bapak harapkan dari saya? Saya lulus UN? Haha... Saya harap bapak tidak merubah lagi sistem UN ya... itu cukup membantu. Terimakasih pak.

Sincerely,
AEM

Nessun commento:

Posta un commento